2010-03-11

PERJALANAN INI SEPERTINYA TELAH USAI

Perjalanan ini sepertinya telah usai, perjalanan terbaikku sumur hidupku. Perjalanan ini telah mengajariku dan memperkenalkanku berbagai macam hal. Perjalanan yang telah membuka mataku kepada ciptaan tuhan yang begitu indah.

Survei telah usai, pilpres telah terlaksana dengan menghasilkan salah satu pasagan terpilih dengan proses yang cukup demokratis. Perjalananku sebagai interviewer politik telah usai pula. Lembaga Survei Indonesia telah menghadiahkanku perjalanan yang amat menyenangkan. Sebuah perjalanan mengelilingi Jawa Barat yang sekarang hanya tinggal kenangan manis yang takkan pernah terlupakan.

Dulu rumahku adalah bis kota. Pulang-pergi Jawa Barat-Jakarta sebagai interviewer politik, keluar masuk desa mencari data, nginap sana nginap sini tidak tahu malu dan sering merepotkan, tidak jarang pula meresahkan dan membuat takut masyarakat desa. Namun semua itu sekarang menjadi bahan renungan dan kenangan manis yang cukup berharga dalam hidupku.

Aku banyak melihat ciptaan tuhan beserta hikmahanya, seperti tanah persawahan yang begitu hijau dan indah, burung-burung bermain-main diatas tangkai padi, para petani berbaris beranjak menuju aktifitasnya. Disamping sawah tersebut terdapat sungai jernih dan bersih untuk irigasi dan melepas lelah. Tidak jarang pula aku melewati gunung dan bukit. Aku tak ubahnya ninja hattori yang mendaki gunung dan melewati lembah. Pernah aku mengalami perjalanan yang mendebarkan disebuah jalan kecil diantara jurang yang terjal, yang mana jika aku kehilangan keseimbangan mungkin sekarang aku hanya tinggal sebuah nama. Pernah juga aku melewati jalan koral parah selama empat jam menuju desa terpencil diatas gunung dengan biaya ojeg seratus lima puluh ribu rupiah. Selain itu aku juga sering melewati pegunungan kapur, bukit dan hutan. Pernah seketika ketika aku berjalan di hutan aku dan tukang ojeg sempat berhenti sejenak karena terdapat ular yang sedang melintasi jalan hutan.

Pernah juga aku berjalan melewati kebun teh yang luas dan indah. Aku berjalan kaki menanjak menuju kampung terpencil di atas bukit. Perjalanan sangat melelahkan, tetapi semua itu terobati dengan sejuknya suasana kebun teh dan sikap ramah para pemetik teh yang terampil. Sungguh pemandangan yang amat jarang kutemui.

Suatu kali aku pernah ke kabupaten Cianjur Selatan. Lokasi yang paling ditakuti oleh para peneliti lapangan. Perjalanan melewati beberapa gunung dengan jalan berkelok-kelok yang membuat perut mual. Aku bertugas di desa terpencil yang belum terjamah listrik. Beberapa warga menggunakan tenaga kincir air sebagai pembangkit listrik dan ada juga yang memakai tenaga surya pemberian pemerintah jepang untuk penerangan ala kadarnya. Tempat itu tak ubahnya hutan desa, disekelilingnya hutan, sangat gelap dan mencekam tentunya pada malam hari.

Perjalananku juga sampai kesebuah daratan tinggi yang amat indah, daerah lembang Bandung. Daerah impain bagi semua orang. Daerah sejuk dengan persawahan terasiring penghasil sayuran. Setiap malam aku melihat gemerlap kota bandung dari atas bukit. Lampu berwarna-warni menghiasi kota itu. Sungguh indah dan eksotis kota bandung jika dilihat dari atas. pernah juga aku bertugas di sebuah gunung yang sangat indah, banyak sungai di tempat tersebut. Aku kenal dengan salah seorang pemuda, kami dekat sekali dan sampai saat inipun kami masih sering berkomunikasi. Yang paling berkesan dengan pemuda tersebut adalah dia mengajakku mencari ikan sepanjang hari menyusuri sungai bersama teman-temannya. Sungguh sangat mengasyikkan. Ketika itu aku sempat bergumam, aku kesini bertugas apa mencari ikan ya.. Ha ha ha... Dan masih banyak tempat lain yang cukup memberiku kesan positif, seperti di perkampungan tepi laut, dll.

Yang menarik dan membuatku betah adalah ternyata masyarakat di desa-sesa itu sangatlah ramah sekali. Mereka menganggapku keluarga sendiri. Tidak jarang aku keluar masuk rumah warga untuk menginap, numpang makan, dll. Mereka sangat apresiatif dengan kedatanganku sebagai mahasiswa walaupun tugas ini bukan untuk kepentingan studiku. Aku tak jarang berdialog dengan mereka, berbagi pengalaman, memberi pencerahan, bahkan tidak jarang aku memberikan mereka semangat untuk hidup. Mereka adalah masyarakat yang baik. Tidak jarang aku diberi makan oleh mereka, dan seingatku aku selalu lahap jika makan di rumah para warga. Entah karena kecapean atau memang masakan mereka enak dan alami. ketika proses wawancarapun aku sering disuguhi makanan ringan dan minuman penawar lelah. Aku pernah makan gula aren “gula merah” yang masih hangat dan baru diangkat dari penggorengan. Sungguh nikmat sekali. Maklum warga disitu kebanyakan petani aren. Mereka memanfaatkan pohon kaung (enau) yang tumbuh liar di setiap sudut kebun mereka. Setiap pagi mereka menyadap getah aren untuk diolah menjadi gula merah dan dijual murah kepada para tengkulak.

Masyarakat desa pada umunya sangat ramah, semangat sosialnya masih tinggi, warga satu kampung terasa keluarga sendiri, saling kenal dan saling membantu. Mereka kebanyakan petani sawah dan hutan (tumpang sari). Mereka mengandalkan tanah garapan untuk dapat bertahan hidup. Mereka berangkat pagi sekali dan pulang menjelang petang. Pekerjaan mereka berat. Tidak semua orang bisa bekerja seberat mereka. Tetapi mereka selalu bersyukur sekecil apapun rezeki mereka dan menurut pengalamanku sangat jarang mereka mengeluh atau sedih yang mendalam jika terjadi musibah pada kehidupannya. Mereka sangat bertawakal pada kehidupannya.

Banyak hikmah dan kesimpulan yang saya petik dari perjalanan saya tersebut diantaranya adalah:

Pertama: saya banyak melihat ciptaan Allah, dan semua ciptaan Allah itu tidaklah batil. Benar adanya bahwa Allah menyediakan rizki dari langit dan bumi. Apa yang tumbuh di hutan maupun pegunungan semuanya bermanfaat sebagai rizki untuk saudara kita dipelosok. Sebagai contoh para petani hutan yang mengandalkan pohon enau (kaung) yang konon pohon ini tumbuh secara liar. Mereka menyadap airnya untuk dijadikan gula merah, buahnya bisa mereka jadikan kolang-kaling dan laris sekali menjelang bulan ramadhan, daunnya bisa dimanfaatkan menjadi atap gubug atau rumah-rumah adat yang kita sering temui di banten (Badui), atau bisa juga digunakan untuk membuat sapu lidi, dan pohonnya pun bisa menghasilkan aci (sejenis tepung untuk membuat kue). Sungguh bermanfaat pohon itu untuk kelangsungan hidup saudara kita di pelosok. Belum lagi jenis-jenis pohon yang lainnya yang juga tidak kalah bermanfaat untuk kehidupan kita semua. Lalu hutan-hutan lebat yang penuh beraneka tanaman yang terkesan menakutkan dan mencekam itu ternyata berfungsi menjadi penyeimbang alam. Lihatlah di kota, hiruk-pikuk dikota ternyata memberi sumbangan yang besar kepada gobal warming. Nah hutan-hutan itu berfungsi sebagai penyeimbang alam sehingga global warming bisa sedikit di kendalikan. Dan masih banyak lagi manfaat-manfaat yang lainnya.

Kedua: semangat hidup yang tidak pernah putus asa. Ya.. mereka tidak pernah putus asa untuk menjalani hidup, walaupun sangat kecil dan tidak seberapa rezeki yang mereka dapatkan. Hanya untuk makan sekedarnya mereka harus pergi pagi pulang petang. Mereka harus merasakan sengatan terik matahari diantara pesawahan, harus masuk hutan yang amat jauh untuk bertumpang sari, dll. Mereka hidup sangat sederhana. Mereka tidak banyak keinginan dan cita-cita seperti kita. Mereka hanya berusaha mempertahankan hidup dan tidak pernah bersedih dan mengeluh akan itu semua. Semangat mereka untuk memberi amat tinggi. Jika aku menginap dirumah mereka, mereka selalu mencarikan sesuatu untuk menghormati tamunya tanpa mempedulikan apa yang akan mereka makan nanti. Sungguh nuansa itu begitu damai dan menyentuh kalbu. Aku kadang berpikir, berusaha sedikit saja untuk hal yang besar kadang aku malas atau tidak mampu melakukannya. Berbeda sekali dengan mereka, usaha yang besar hanya untuk mengisi perut. Mereka tidak terpikir untuk mencari kebutuhan sekunder, atau mencari kebahagiaan lain dalam hidup mereka.

Yang ketiga: masyarakat desa adalah abdi negara yang terabaikan. Mereka adalah petani yang mensuplai kebutuhan primer kita. Kita hanya tahu bahan makanan dapat kita beli di supermarket dan pasar tradisional dengan harga yang lumayan terjangkau oleh kita. Tapi apakah kita tahu keluh kesah petani disana? Pernah aku bertugas ke kabupaten garut, tepatnya di desa Sukahurip Kec. Pangatikan. Desa tersebut adalah desa pertanian. Masyarakatnya mayoritas petani sayuran. Ketika saya melakukan interview mereka mengadu akan kebutuhan pertanian yang melambung tinggi dan anjloknya hasil panen mereka. Bayangkan buah tomat 1 kilo hanya dihargai 200,- rupiah saja oleh para tengkulak. Coba bayangkan kalau kita beli tomat sekilo di swalayan atau pasar tradisional, tentu harganya sudah berlipat-lipat. Bahkan kepala desa sempat mengatakan: ada sebagian petani yang tidak memanen hasil cocok tanamnya dan membiarkan begitu saja hingga membusuk karena setelah dikalkulasikan ongkos memanen dengan hasil panen tidak sepadan. Maklum tempat mereka dataran tinggi dan sawah mereka dipelosok-pelosok sehingga membutuhkan biaya lebih besar untuk transportasi pengangkutan hasil panen. Selain itu bukan rahasia lagi tengkulak atau pengepul lebih diuntungkan daripada petani. Sungguh miris, seharusnya petani harus lebih sejahtera dibandingkan kita. Kita harus menyadari bahwa perhatian pemerintah kepada sektor pertanian masih sangat kurang. Pemerintah tidak berhasil mensubsidi bahan pertanian sehingga terjangkau oleh para petani. Pemerintah juga belum bisa berswasembada hasil pertanian sehingga para petani kita tidak mendapatkan harga panen yang layak. Indonesia sepertinya terjebak oleh impor pangan karena kurang mampu memaksimalkan potensi pangan lokal, (baca kompas 24-8-2009).

Lalu selanjutnya adalah perangkat desa. Perangkat desa didaerah-daerah terpencil sama sekali belum mendapatkan imbalan yang layak dari pemerintah. Menurut pengalamanku, mereka lebih banyak mengeluarkan keringat daripada penghasilannya. Padahal pekerjaan mereka juga teramat berat. Mereka berkewajiban mengurusi warga, melindungi warga, dan bertanggung jawab sepenuhnya bila terdapat masalah. Imbalan untuk mereka hanyalah tanah bengkok dan sumbangan pemerintah daerah, itupun terlalu kecil dan hanya mereka dapatkan tiga bulan sekali. Lihatlah para pegawai negeri di kelurahan pada kota-kota besar, terkadang mereka hanya duduk-duduk dikantor dan gaji siap mereka terima setiap bulannya. RT dan RW pun mendapatkan imbalan yang layak. Pernah saya bertanya kepada Ketua RT disebuah desa terpencil, dia hanya mendapatkan 10.000,- selama sebulan. Padahal pekerjaannya juga tidak kalah berat dibandingan para ketua RT di kota.

Yang keempat: sebenarnya alam ini seimbang tetapi manusia itu sendirilah yang merusaknya. Sebenarnya alam ini damai, sejuk, dan menentramkan. Saya sangat betah sekali jika mendapat tugas di desa-desa terpencil. Karena disamping pemandangannya indah dan natural, saya bisa menghirup udara yang benar-benar bersih dan higenis yang tentu menyehatkan tubuh. Tidak aneh lagi di desa memang masih bersih dan alami. Udaranya menyegarkan dan menyehatkan. Sungai masih sangat bersih sehingga memungkinkan digunakan untuk mandi, mencuci, memasak dll. Seluruh pernak-pernik alam tampknya bersahabat dengan manusia dalam memberi kebutuhan dan kenyamanan. Itulah sebenarnya sejatinya alam. Tapi belakangan ini kita dihadapkan kepada masalah-masalah alam yang mengancam kehidupan manusia, seperti global warming, banjir, musibah situ gintung dll. Kalau ditelisik sampai pada akarnya, masalah itu timbul disebabkan oleh kelalaian manusia itu sendiri. mereka berkreasi dan berinovasi dalam menghiasi modernitas tanpa memperdulikan kepentingan alam. Tidak jarang kreatifitas manusia mengganggu stabilitas alam dan mengabaikan hak-haknya. Global warming disebabkan oleh manusia yang terus-menerus mengembangkan teknologi tanpa mempertimbangkan dampaknya. Banjir di Jakarta karena tidak ada tempat yang cukup bagi alam untuk eksis, tidak ada resapan, rumah terlalu padat, pembuangan sampah dan limbah di sungai dan selokan. Dll.

Ya itulah hikmah dan kesimpulan yang aku dapatkan selama perjalananku mengemban tugas. Sungguh mengasyikkan. Alam desa nan alami adalah dunia impianku. Dunia dimana aku ingin menghabiskan hidup dan pengabdianku. Alam impian yang terinspirasi dari jiwa yang cinta kedamaian. Alam impian yang tergugah dari sosok seorang jelita. Semoga peraduanku berakhir disana. Dan ada satu lagi hadiah dari perjalanan itu yang membuatku cukup bahagia; aku mampu dengan cukup lancar berbicara bahasa sunda karena terlalu seringnya berinteraksi dengan warga parahiangan. Semoga perjalananku bermanfaat dan menjadi inspirasi dalam berkreasi dan menjadi bekal melangakah meneruskan perjalanan hidup yang masih sangat panjang. Amin.. (Ahfa R Syach)

0 komentar:

SELAMAT DATANG.....!!! Happy Fun and Enjoy....

Mau menjelajah...?

Welcome...



Thanks For Joining

Selamat datang di sahara's community, sebuah blog pribadi, namun saya namakan sahara's community karena blog ini adalah rumah ilmu bagi siapapun yang mengunjungi blog ini, Blog ini adalah blog sastra, namun juga terdapat artikel umum hasil corat-coret tangan. semua makalah sastra yang tertulis adalah tugas-tugas kuliah selama menjadi mahasiswa di UIN Jakarta, semoga bermanfaat untuk referensi dan perbandingan. Bagiku .... dunia maya lebih indah dari pada dunia yang sesungguhnya..... salam


 

Design by Amanda @ Blogger Buster