2009-01-09

Perbandingan Antara Syair "Wujudiyah" Karya Hamzah Fansuri dengan Syair 'Isyqul Ilahi Karya Jalaluddin Rumi


I. Pendahuluan

Sastra bandingan (comparative literature) dalam banyak rumusan atau definisi, umumnya menekankan perbandingan dua karya atau lebih dan sedikitnya dua negara yang berbeda. Jika kita mengamati karya-karya dan berbagai negara dan daerah, maka ternyata bahwa rumusan Itu akan mengundang banyak masalah. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada. Sesungguhnya demikian, sebelum memasuki pada pembicaraan yang menyangkut masalah dalam studi sastra bandingan itu sendiri, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan.

Sastra banding merupakan salah satu metode kajian sastra. Disebabkan variannya metode-metode pengkajian sastra yang saling berhubungan dan saling menjelaskan antara satu dengan yang lain. Di antaranya yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan knitik sastra.

Dalam Bahasa Arab, sastra banding itu disebut dengan “al-Adab al-Mu qaran”, yakni sebuah nama untuk metode kajian sastra yang berdasarkan pada kajian yang berhubungan dengan kesejarahan. Kata ini terdiri dari dua kata, yakni “al-adab”, yang artinya sastra dan “al-muqaran”, yang artinya perbandingan. Jadi, al-adab al-muqaran artinya sastra banding atau sastra perbandingan. Dalam kamus Webster, dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra yang lain.

Sementara itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyt dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, diantaranya soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan universal. Adapun menurut Hoiman mengungkapkan bahwa sastra banding adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.

Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya, dalam kesusastraan Indonesia, bukanlah hal yang baru. Contohnya, kasus Hamka-Manfaluthi dan Chairil Anwar-Archibald Macleish.

Tujuan sastra banding antara lain: pertama, untuk mencari pengaruh karya sastra satu dengan yang lain dan atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra, kedua, untuk menentukan mana karya sastra yang benar-benar orisinil dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra, ketiga, untuk menghilangkan kesan bahwa karya nasional tertentu lebh hebat dibanding karya Sastra nasional yang lain. Empat, untuk mencari keragaman budaya yang terpantul dalam karya satu dengan yang lainnya. Kelima, untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal dalam sastra. Keenam, untuk menilai mutu karya-karya dan Negara-negara dan keindahan kanya sastra.

Dari beberapa tujuan-tujuan tersebut para kritikus membuat metodologi guna mencapal tujuan tersebut. Dan dari tujuan dan metode itulah diketahui berberapa manfaat dan signifikansi sasta banding.

Umpamanya dari segi regional dan universal kajian Sastra Banding memiliki manfaat yang besar. Dari segi regional. tumbuhnya sastra luar dan membandingkannya dengan sastra daerah menyampaikannva untuk mengurangi tingkat fanatisme bahasa dan sastra daerah tanpa keharusan yang jelas. Fanatisme buta dan kebohongan mengarahkannya pada keterasingan bahasa dan sastra daerah dari perkembangan pemikiran dan dari kebudayaan yang banyak membantu mempengaruhi satu karya sastra dari karya-karya sastra luar. Begitupula dari segi segi lainnya..


II. Latar belakang
Hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan negara-negara Arab telah terjalin sejak lama. L.W.C. van den Berg (via al-Gadri, 1988: 56) mengatakan bahwa orang Arab yang pertama datang ke Indonesia berasal dari pantai Teluk Persia dan pantai laut Merah. Hubungan antar kepulauan ini mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan Abbasiyah di Mesopotamia dengan ibu kota Baghdad (sekitar tahun 800-1300) yang menjadi pusat ilmu, kebudayaan, dan perdagangan Dunia Islam. Dari daerah inilah asal sebagian besar orang Arab pertama yang sampai di Indoneia dan melakukan asimilasi kebudayaan dengan penduduk setempat. Pengaruh Arab di indoneia tampak pada beberapa hal, seperti kekuatan politik (berdirinya kesultanan di seluruh nusantara) pendidikan (berdirinya lembaga pendidikan), bahasa (absorbsi bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia), dan juga kesusasteraan (adopsi syair atau hikmah untuk justifikasi ajaran agama atau lainnya)
Dengan seiring berjalannya waktu sastra indonesia mengalami perjalananya yang cukup baik. Banyak lahir seorang tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang handal, banyak karya yang telah dibuahkan oleh tangan-tangan mereka sehingga bertaburanlah karya sastra Indonesia yang bermacam-macam bentuk maupun aliran-alirannya seperti yang kita tahu sekarang ini, banyak sekali penerbit yang menerbitkan novel, kumpulan puisi, banyak juga diterbitkan buku-buku tentang sejarah sastra, teori sastra dan lain-lainnya, sehingga sastra sastra di Indonesia mengalami sebuah kemajuan yang cukup signifikan, sehingga muncullah kajian kritik sastra, teori sastra bahkan sastra banding walaupun sebenarnya ilmu ini belum popular namun demikian prinsip-prinsipnya sudah pernah dilakukan oleh HB Jassin untuk menyeselaikan problema dalam duni sastra yaitu tuduhan tentang pemplagiatan karya sastra. Sastra juga mengalami sebuah perioditas, seperti pujangga lama, melayu lama, angkatan balai pustaka dan lain sebagainya.
Dan sudah barang tentu karya–karya sastra karya sastrawan indonesia tidak semata-mata murni hasil pemikiran mereka sendiri, ada beberapa karya sastra yang dipengaruhi oleh karya lain, dari segi isi karya itu sendiri ataupun para sastrawan yang dipengaruhi oleh sebuah pemikiran atau sastra negara lain khususnya arab karena memang amat tidak bisa dipungkiri pengaruh sastra arab di Indonesia amat sangat kental seperti yang disebutkan diatas, banyak para penyair arab yang pemikiran dan ilmunya digandrungi oleh masyarakat Indonesia lewat buku- buku mereka yang diterjemahkan maupun dalam bahasa aslinya, pertukaran pelajar, mahasisawa-mahaiawa indonesia yang belajar ke Negara arab, sehingga tentu terjadi transformasi budaya dan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya para sastrawanpun terpengaruh oleh hal-hal tersebut ketika menciptakan sebuah karya sastra
Salah satu penyair arab yang karyanya juga dikenal di Indonesia adalah Jalaluddin Rumi dari persia. Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah-sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, umat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.
Banyak sekali para sastrawan Indonesia yang terpengaruh oleh sastra jalaluddin rumi, seperti Amir Hamzah, Hamzah Fansuri dan mungkin ada yang lain lagi, kebanyakan mereka terpengaruh oleh tasawufnya jalaluddin rumi, kebetulan jalaluddin selain sufi juga salah seorang penyair, begitu pula Hamzah Fansuri seorang sastrawan indonesia yang popularitasnya sudah sangat dikenal para penikmat sastra di Negara budaya ini, jadi tak khayal jika Hamzah Fansuri sangat terpengaruh dalam penciptaan karya sastranya terutama pada sisi ketasawufannya.
Untuk itulah terasa sangat menarik dan merupakan sebuah sumbangsih terhadap dunia kesusastraan jika diadakannya kajian sastra banding Indonesia dengan arab untuk sekedar melihat lebih jauh terhadap dua karya terebut, keterpengaruhannya serta melihat perkembangan sastra pada masing-masing dua negara itu.
III. Kerangka Teori
Pada pembuatan makalah ini penulis merasa agak ruwet dalam menentukan pendekatan dalam melakukan kajian ini, banyak sekali teori-teori dan aliran satra banding yang ada, mereka tumpang tindih dalam menetapkan langkah-langkah dan metodologinya dalam melakukan kajian sastra banding, menurut pemakalah belum ada teori yang pasti secara baku yang digunakan untuk mengkaji, namun inipun mungkin karena keterbataan wawasan, intelektual dan referensi penulis, untuk lebih mempermudah kajian ini penulis melakukan kajian sastra banding menggunakan apek-aspek pendekatan yang dikemukakan oleh Robert J Clements.
Berdasarkan sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra banding, Robert J. Clements melihat sastra banding sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: 1) tema/mitos, 2) jenis/bentuk, 3) aliran/zaman, 4) hubungan sastra dengan seni dan bidang lain, dan 5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra.
Setelah itu kita juga akan mengikuti teori sastra banding eropa yang digagas para ilmuan sastra Perancis seperti Paul van Tieghem, Marnius-Francois Guyard, dan Jean- Marie Carre pada tahun 1951-an. Dalam teori kritik sastra Arab modern, teori ini merupakan teori mainstream yang dianut antara lain oleh Muhammad Gunaimi Hilal, Taha Nada, dan Raimun Tahhan. Menurut mereka, sastra banding adalah kajian terhadap hubungan historis suatu sastra nasional tertentu dengan sastra nasional lain. Bidang kajiannya adalah keterpengaruhan suatu sastra yang ditulis dalam suatu bahasa nasional tertentu oleh sastra lain yang berbeda bahasa, baik bentuk maupun isinya. Dalam sastra banding Eropa ini, disyaratkan adanya dua hal: pertama, dua karya yang diteliti harus berbeda bahasa, dan kedua harus ada hubungan keterpengaruhan lewat berbagai media, seperti bahan bacaan dan lain-lain.
Teori ini pernah dipersoalkan oleh Henry Remak “penggagas Teori Amerika” yang mana teori ini menitikberatkan kepada unsur ektrinsik sastra lewat studi keterpengaruhan historinya sehingga karya sastra menjadi teks yang tidak independent.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan minimal ada tiga point penting yang merupakan pendekatan dalam melakukan sebuah sastra banding, yaitu menganalisa hubungan historis kedua pengarang tersebut, menganalisa unsur ektrinsik dua karya terebut dan yang terakhir adalah mengungkap keterpengaruhan dua karya terebut.
Jadi pertama saya akan mengupas tuntas dua karya tersebut menggunakan pendekatan-pendekatan yang dikemukakan oleh Robert J Clements seperti yang disebutkan diatas lalu saya akan menerapkan teori sastra banding eropa sebagai finishing karena jika anda lihat kedua teori diatas cukup berhubungan dan berkesinambungan.
III. Pembahasan
a. Karya Hamzah Fansuri dan Biografinya
Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ké-17. Nama gelaran atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dan Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sàmpai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh. Sumber-sumber sejarah Yunani, misalnya dari Ptolomeus abad kedua SM, menyatakan bahwa kapal-kapal Athena telah singgah di kota ini pada abad-abad terakhir sebelum tibanya tarikh Masehi, begitu pula rombongan kapal Firaun dan Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk pembuatan mummi. Beberapa para ahli sejarah masa kini juga telah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatra seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad kesembilan dan kesepuluh, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim Nusantara awal dengan kehidupan yang cukup mapan. Tak mustahil adalah melalui pelabuhan Barus para pendakwah Islam menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di kepulauan Nusantara dan dari sana menyebar ke tempat-tempat lain mengikuti aktivitas pelayaran pedagang-pedagang Muslim Arab dan Persia.
Dapat dipastikan bahwa dikota yang ramai dengan mayarakat kelas menengah seperti Barus telah terdapat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya sekolah-sekolah agama. Di situ orang dapat mempelajari berbagai bahasa khususnya bahasa Arab dan Persia, dua bahasa penting pula pada abad keenam belas yang sangat dikuasai oleh Syekh Hamzah Fansuri. Mungkin dikota kelahirannya inilah Syekh Hamzah Fansuri mula-mula mempelajari ilmu-ilmu agama, termasuk tasawuf dan kesusastraan. Sudah pasti pula di situ telah berkembang kegiatan tarekat sufi yang sangat digemari oleh lapisan luas masyarakat Muslim Timur.
Hamzah Fansuri telah mengembara ke pelbagai tempat untuk menambah pengetahuannya seperti ke Mekah, Madinah, Baghdad, Pahang (Tanah Melayu), dan Kudus (Pulau Jawa). Ia menguasai bahasa Arab dan Parsi di samping bahasa Melayu yang memang menjadi bahasa ibundanya. Bahasa Melayu yang digunakannya itu sudah memperlihatkan bentuk seperti yang digunakan sekarang. Hamzah Fansuri adalah pengembang tarekat Wujudiyah. Fahaman ini beranggapan bahawa segala makhluk itu pada asasnya esa, kerana wujud daripada zat Allah.
Barus mengalami perubahan yang menyedlhkan pada permulaan abad ke-17. Pamor ini agaknya mulai merosot dengan maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam yang ingin menjadi pengäasa mutlak di seluruh pesisir Sumatra. Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh berhasil menaklukkan kerajaan Barus dan memasukkannya dalam wilayah kesultanan Aceh. Iskandar Muda memperkecil peranan Barus baik sebagai pusat perniagaan maupun kebudayaan. Pada awal abad ke-18 kota tersebut telah berubah menjadi sebuah pekan kecil yang sunyi dan hanya pantas dihuni oleh para nelayan kecil. Kemegahannya selama berabad-abad telah musnah dan yang tinggal hanya puing-puing.
Hamzah Fansuri adalah seorang pembaharu. Hal itu tampak bagaimana perannya terhadap bahasa Melayu yang mengangkat bahasa itu kepada martabat yang lebih tinggi, yaitu menjadikannya bahasa intelektual yang sebelumnya hanya merupakan lingua franca, ekspresi keilmuan yang canggih dan modern, Islamisasi bahasa Melayu, islamisasi pemikiran dan kebudayaan dan lain sebagainya.
Tidak diketahui secara pasti tarikh hasil karyanya itu ditulis kerana tidak ada catatan tentangnya. Yang diketahui ialah bahawa Hamzah Fansuri menghasilkan karyanya itu pada masa Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam memerintah Aceh dalam tahun 1606-1636 M. Berdasarkan ini, dapatlah dikatakan bahawa karyanya itu tercipta pada awal abad ke-17. Ia menghasilkan beberapa buah syair dan prosa.
Salah satu karya puisinya adalah

Syair Wujudiyah
Tuhan kita yang bernama qadim
Pada sekalian makhluq terlalu karim
Tandanya qadir lagi hakim
Menjadikan alam dan Al-Rahman Al-Rahim

Rahman itulah yang bernama Sifat
Tiada bercerai dengan kunhi Zat
Di sana perhimpunan sekalian ibarat
Itulah hakikat yang bernama ma’lumat

Rahman itulah yang bernama Wujud
Keadaan Tuhan yang sedia ma’bud
Kenyataan Islam, Nasrani dan Yahud
Dan Rahman itulah sekalian maujud

Ma’bud itulah yang terlalu bayan
Pada kedua alam kull qawin huwa fi sya’n
Ayat ini daripada Surah Al-Rahman
Sekalian alam di sana hairan

Ma’bud itulah yang bernama haqiq
Sekalian alam di dalamnya ghariq
Olehnya itu sekalian fariq
Pada kunhi-Nya tiada beroleh tariq

Haqiqat itu terlalu ‘iyan
Pada rupa kita sekalian insan
Ayna-ma tuwallu suatu burhan
Fa tsamma wajhu Allah pada sekalian maqan

Insan itu terlalu ‘ali
Hakikat Rahman yang mahabaqi
Ahsanu taqwimi itu rabbani
Akan kenyataan Tuhan yang bernama subhani

Subhani terlalu ‘ajib
Dan habl al-warid pun Ia qarib
Indah sekali qadi dan khatib
Demikian hampir tiada bernasib

Aho segala kita yang ‘asyiqi
Ingat-ingat akan ma’nn insani
Jika sungguh engkau bangsa ruhani
Jadikan dinimu rupa sultani

Kenal dirimu hai anak ‘alim
Supaya engkau senantiasa salim
Dengan dirimu yogya kau qa’im
Itulah hakikat salat dan sa’im

Dirimu itu bernama khalil
Tiada bercerai dengan Rabb Al-Jalil
Jika dapat ma’na dirimu akan dalil
Tiada berguna madzhab dan sabil

Kullu man “alay-ha fanin ayat min Rabbihi
Menyatakan insan irji’i ila asliki
Akan insan yang beroleh tawfiqihi
Supaya karam di dalam sirru sirrihi

Situlah wujud sekalian fanun
Tinggallah engkau daripada mal wa’l-banun
Engkaulah ‘asyiq terlalu junun
Inna li’LLahi wa inna ilayhi raji’un

Hamzah gharib unggas quddusi
Akan rumahnya Bait Al-Ma’muri
Kursinya sekalian kapuri
Min al-asyjari di negeri Fansuri

b. Karya Jalaluddin Rumi dan Biografinya
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Ada juga yang mengatakan Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan alhi matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing --yakni Syamsi Tabriz-- ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit."
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.
Salah satu karyanya adalah
العشق الإلهى
الحب هو السيد

الحب وحده يتسيد كل الأشياء

فأنا متسَّيد كليا ً بالحب

بعاطفتي من الحب للحب

لدي الحجة الحلوى كالسكر

آه ! ريح عنيفه

أنا مجرد ريشة أمامك

فكيف لي أن أعرف أين ساذهب في هبوب الريح القادم؟

من ذا الذي يدعيِّ تحالفه مع القدر

فيكشف عن كونه كاذباً و أحمقاً

أى منا يضع القشة فى العاصفه؟

كيف يمكن لأحد أن يتحالف مع إعصار ؟

c. Analisis Perbandingan
1. Tema/ Mitos
Jika kita melihat syair wujudiyah Hamzah Fansuri diatas sepertinya kita diajak berenang kedunia tasawuf, dimana disitu Hamzah Fansuri mendeskripsikan wujud tuhan dengan teori-teori tasawuf yang ada. penulis pikir tema dari syair ini adalah wujud tuhan yang dapat diungkap dari segala ciptaannnya, “yaitu dari sifat Rahman dan Rohimnya yang berasal dari cintanya”, sepintas memang sulit dipahami. Sedikit saya jelaskan : menurut Iraqi, juga menurut Al-Jili dan Jami, (tokoh sufi) sifat-sifat tuhan yang hakikatnya adalah cinta telah terkandung di dalam kalimat suci Bismi Allah Al Rahman Al Rohim. Di dalam perkataan Bismillah itu terdapat dua macam cinta tuhan, yaitu Rahman dan Rahim. Rahman dan rahim berasal dari perkataan yang sama yaitu rahma (rahmat) Rahman adalah rahmat tuhan yang bersifat esensial (dzatiah) dan Rahim adalah rahmat tuhan yang berifat wajib (wujub). Dikatakan esensial karena sifat Rahman tuhan atau wujud Rahman-Nya berlaku atas semua ciptaan-nya dan atas segala manusia. Segala ciptaannya di alam semesta tidak terbebas dari Rahman-Nya. Dan diliputi oleh pengetahuaannya yang termanifestasikan karena dorongan cinta. Di lain hal Rahim disebut rahmat-Nya yang wajib sebab ia wajib dilimpahkan kepada orang-orang tertentu yang mencintainya dengan penuh kesungguhan yakni orang-orang yang mukmin dan muttaqin yang shaleh. Keterangan diatas sesuai dengan hadits qudsi yang menyatakan “Aku perbendaharaan tersembunyi, Aku ingin untuk dikenal, maka Aku menciptakan sesuatu dan dengan demikian Aku dikenal.
Sedangkan syair ‘isyqul Ilahi kurang lebih bertemakan Cinta dan taqdir adalah raja, yang tentu kali ini cinta tersebut ditujukan kepada Allah. Seorang hamba yang cinta pada Allah dia akan melakukan apapun untuk Allah. Dan takdir-Nya juga tidak dapat dielakkan oleh hamba-hambanya.
Jadi dua karya tersebut sama-sama mengangkat cinta dalam isinya, hanya saja berbeda dalam sumber cinta itu, dalam wujudiyah cinta berasal dari tuhan sedangkan dalam ‘Isyqul Ilahi, cinta bersumber dari hamba.
2. Jenis/ Bentuk
Syair wujudiyah merupakan perpaduan antara Ruba’I Persia dan pantun melayu, karena syair tersebut terdiri dari empat baris dan terdiri dari dua misra (dua pasangan). Dan kalau digolongkan menurut isinya itu adalah termasuk syair didaktis; yaitu syair yang berisi religiusitas, mistis, dan moral.
Sedangkan ‘Isyqul Ilahi dalam literatur arab disebut dengan Syi’rul Hur yaitu Syair yang tidak terikat sekali dengan aturan wazan, Qofiah, maupun taf’ilat. Lihat saja pada syair tersebut tidak ada pengulangan bunyi yang sama pada setiap akhir bait-baitnya. Dan dari sisi isi syair (pembagian syair yang dipelopori Thaha Husein dan Ahmad Al Sayyib), ini disebut syair lirik yaitu syair yang secara langung mengungkapkan perasaan, baik sedih maupun harapan. Karena kurang lebih syair itu merupakan ungkapan perasaan Jalaluddin Rumi tentang cinta dan takdir.
3. Aliran/ Zaman
Berbicara Aliran atau zaman maka kita berbicara tentang waktu, berdasarkan waktu syair Wujudiyah merupakan Syair Pujangga Lama, yaitu Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad 20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Karena memang berdasarkan riwayat Hamzah Fansuri yang diperkirakan hidup antara abad 16-17 M. maka syair ini muncul pada abad itu pula.
Sedangkan syair ‘Isyqul Ilahi merupakan karya sastra dua periode yaitu pada masa Daulah Abbasyiah dan periode keruntuhan, periode Daulah Abbasyiah yaitu periode sastra yang dimulai dengan pemerintahan Abu al Abbas as Saffah yaitu tahun 132 H. dan diakhiri dengan jatuhnya kota Baghdad ditangan orang-orang mongol tahun 656 H. Sedangkan periode keruntuhan yaitu sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah tahun 656 H. hingga runtuhnya Dinasti Utsmaniyyah pada awal abad ketiga belas hijriah. Nah kalau kita lihat Jalaluddin Rumi lahir pada tahun 604 H dan wafat tahun 672 H, selain itu menurut sejarah dia baru menjadi penyair pada umur 48 tahun, jadi kira-kira masa kepenyairannya adalah antara tahun 652- 672 H. jadi dia ikut masa Abbasyiah selama 4 tahun dan setelah itu masuk pada masa keruntuhan selama 16 tahun. Mungkin masa penyairannyalah yang menjadi patokan karena ‘Isyqul Ilahi tidak dapat dipastikan tahun berapa ditulis.
4. Hubungan sastra dengan seni bidang lain
Pada syair Wujudiyyah jelas sekali itu berhubungan dengan ilmu bidang lain yaitu Tasawuf yaitu tepatnya pada ajaran wujudiyah, yaitu sebuah pemikiran yang yang telah berakar lama didalam pemikiran para sufi sebelum abad ke 13 seperti Al Hallaj, Imam Al Ghozali, dan Ibnu Arabi, nama aliran wujudiyah berasal dari istilah Wahdatul wujud, istilah yang dikemukakan oleh Qunawai setelah melakukan tafsir pada karya Ibnu Arabi, yaitu ajaran yang mengemukakan bahwa keesaan tuhan (tauhid tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuan-Nya yang berbagai-bagai di alam fenomena (alam Al khalq). Tuhan sebagai Dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaan-Nya memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya tuhan adalah transenden (tanzih). Tetapi karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia, maka dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian.
Seperti salah satu contohnya adalah pada bait ke lima ikat-ikatan tersebut Syekh Hamzah Fansuri mengutip ayat Al Qur’an, Kul Yawm Huwa Fi Sya’n (QS 55:29), maksudnya, “setiap hari dia berada di dalam banyak urusan” dengan pernyataan ini kita mengerti apabila penyair memandang bahwa wujud tuhan tak pernah bercerai dari alam semesta dan sekalian ciptaannya. Lalu di dalam bait ke enam tuhan menyebut sebagai haqiq perkataan yang berasal dari pada Al Qur’an surat Al-A’raf ayat 105. Di dalam ayat ini diceritakan bahwa Nabi Musa a.s. mengumumkan diri sebagai utusan Allah dan menyatakan bahwa beliau tidak mengatakan sesuatu yang sia-sia kecuali kata-kata yang benar (haqiq) tentang tuhan. Nah dapat disimpulkan pula menurut dua contoh di atas bahwa syair ini juga berhubungan dengan ilmu lainnya yaitu “Tafsir Al Qur’an”
Sedangkan pada syair ‘Isyqul Ilahi juga berhubungan sekali dengan tasawuf hanya saja kalau syair Hamzah Fansuri pada aliran wujudiyah sedangkan pada syair ini berhubungan pada aliran mahabbah, yaitu sebuah maqom pada ilmu tasawuf yang beruaha menggapai tuhan dengan cinta. Sufi yang termasyhur dalam mahabbah adalah Rabiah Al Adawiyah (713-801 H.) dari Basrah di Irak.
Hal ini nampak pada bait ke satu hingga ke tiga yang artinya adalah Cinta itu adalah raja/ tuan, dan cinta itu sendiri akan menuankan/ merajakan segala seuatu (yang dicintainya), dan saya menuankan Kulliyan (yang maha sempurna dan menyeluruh “Allah”) dengan segenap cinta. Ma’na dari ketiga bait tersebut sesuai dengan pengertian atau konsep maqom mahabbah yang tiga yaitu:
1. Memeluk kepatuhan kepada tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang dimaksud dengan yang dikasihi disini adalah tuhan.
Begitu juga pada bait ke empat yang artinya adalah dari kelembutan cintaku untuk yang maha mencintai (Allah). Makna bait ini sesuai dengan ayat Al Qur’an yang berbicara tentang cinta, yaitu:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (العمران:31)
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jadi kesimpulannya dua syair di atas sama-sama berhubungan dengan ilmu lain yaitu Tasawuf dan tafsir Al Qur’an hanya saja pada bidang tasawuf Hamzah Fansuri berada pada aliran Wujudiyah sedangkan Jalaluddin Rumi berada pada aliran mahabbah.
5. Sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra
Sudah jelas sekali pada pembahasan ini amat bermanfaat untuk menilik kembali sejarah kritik sastra maupun teorinya, karena memang dari beberapa tujuan kritik sastra adalah untuk melihat sejarah sastra, menilai kualitas sastra, dan mengetahui unsur-unsur sastra; ektrinsik maupun intrinsik, setelah itu tergambarlah teori sastra ketika itu, kalau kita lihat pemaparan diatas terutama pada sesi biografi pengarang itu sudah cukup mewakili bagaimana sejarah dan kritik sastra pada waktu itu, sengaja pada sesi biografi agak saya paparkan panjang lebar karena saya tahu kita akan bertemu pada sesi ini. Pada bagian Hamzah Fansuri contohnya, kita telah melihat bagaimana sastra diciptakan ditengah-tengah mayarakat yang pada awalnya sangat gemilang pada sisi kesusastraan dan keilmuan, akibat daerah itu menjadi pelabuhan dagang penting yang dikunjungi oleh saudagar-saudagar dari Negara-Negara lain, seperti Yunani dan Arab sehingga ada yang menyimpulkan itu adalah daerah pertama dakwah Islamiyyah oleh orang arab.
Lalu bagaimana peran Hamzah Fansuri terehadap bahasa Melayu yang mengangkat bahasa itu kepada martabat yang lebih tinggi, yaitu menjadikannya bahasa intelektual, Islamisasi bahasa Melayu dan lain sebagainya, setelah itu kemunduran kota Barus akibat Ekspani kerajaan Aceh Darussalam yang ingin menjadi penguasa mutlak diseluruh pesisir Sumatera
Begitu juga keadaan lingkungan serta kehidupan Jalaluddin Rumi pada masa Abbasyiah yang merupakan puncak kegemilangan pengetahuan dan intelektual yang tercatat dalam sejarah perjalanan Islam, bagaimana dia dipengeruhi secara tasawwuf oleh Fariduddin Attar, Ibnu Arabi dan lain sebagainya, dan juga kedalaman ilmu lainnya yang didapat ditengah-tengah masyarakat tersebut, nah, semua itu memungkinkan kita untuk melakukan kritik sastra yang selanjutnya menjadi sejarah kritik sastra dan teori sastra.
6. Pengaruh Historis
Dari pemaparan biografi kita tahu Hamzah Fansuri dan Jalaluddin Rumi tidak hidup sezaman, Jalaluddin Rumi hidup kurang lebih 400 tahun lebih awal dari Hamzah Fansuri. Rumi lahir Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 M, sedangkan Hamzah Fansuri diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke 16 hingga awal abda ke 17 M. karena memang tidak ada naskah tersisa yang mencatat riwayat hidup Hamzah, terkait dengan pelarangan dan pemusnahan kitab-kitab karangan penulis wujudiyah pada 1637 baik memenuhi perintah sultan Iskandar Tsani (1937-1641) maupun fatwa Syekh Nuruddin Ar Raniri, ulama istana Aceh ketika itu.
Saya tidak memiliki referensi yang pasti bagaimana Hamzah Fansuri terpengaruh secara pemikiran, sastra, serta tasawufnya, saya berani mengatakan dia terpengaruh berdasarkan komentar Abdul Hadi W.M. (sastrawan kelahiran Sumenep) ketika ditanya apakah Hamzah Fansuri terpengaruh oleh Rumi? Dia menjawab: “Ya, tapi tidak langsung karena abadnya sudah berbeda. Tetapi jelas bahwa dari segi estetik karya-karya Fansuri banyak dipengaruhi, terutama, oleh Fariduddin Attar. Paling jelas dari Attar, tapi itu dekat sekali dengan Rumi, karena Attar itu sambungannya dengan Rumi. Sedangkan dari pemikiran filsafatnya, baru Fansuri dipengaruhi Ibnu Arabi.”
Kalau kita lihat pada biografi rumi di atas memang dia sezaman dan sangat dekat dengan Fariduddin Attar (Tokoh sufi), bahkan dia sempat meramalkan Rumi ketika itu berumur 5 tahun kelak akan menjadi, penyair dan tokoh spiritual besar, tentu pemikiran sufi, dan juga syair-syairnya amat memberikan pengaruh kepada Rumi, jadi bisa disimpulkan selain oleh Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi juga memberikan pengaruh kepada Hamzah.
Bukti lain adalah ketika terjadi ketidak terbuktiannya keterkaitan Hamzah Fansuri terhadap ajaran martabat tujuh yaitu salah satu ajaran pada aliran wujudiyyah yang berkembang hingga saat ini di Indonesia. Hal itu terbukti dengan kritik beliau terhadap aliran tersebut yang digagas oleh Mohammad Fadlullah Al Burhanpuri (w. 1620) dari India, pada karyanya dia mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke 16 terutama Bayazid Bishtami, Mansur Al Hallaj, Fariduddin Attar, Syekh Junaid Al Baghdadi, Ahmad Ghozali, Ibnu Arabi, Rumi, Mahghribi, Mahmud Habitari, Iraqi dan Jami,
Mereka rata-rata hidup sezaman dan kalaupun tidak bedanya tidak terlalu jauh, bahkan Iraqi yang dianggap pemikir sufi yang banyak memberi warna kepada pemikiran Wujudiyyah Hamzah memiliki seorang guru yang bernama Sadruddin Qunawi (w.1274) seorang penafsir ulung yang hidup sezaman dan sekota dengan Rumi (w.1273).
Jadi kesimpulannya adalah dari sekian banyak tokoh sufi, penyair, ilmuwan, yang kebanyakan hidup sezaman terjadi sebuah keterpengaruhan pada keilmuwan, sastra dan pemikiran mereka, sehingga dapat kita terima bahwa tidak hanya beberapa tokoh saja yang mempengaruhi Rumi seperti yang banyak dikemukakan, namun pemikiran, aliran sufi, dan sastranya Rumi Sedikit banyak mewarnai kehidupan Hamzah terutama pada corak dan estetika karya sastra Hamzah.
7. Unsur-unsur Ektrinsik
Berbicara tentang faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi dua syair di atas sudah banyak kita temukan pada pemaparan biografi maupun penjelasan pada analisis perbandingan yang memaparkan keadaan sosial dimana kedua penyair itu hidup.
Yang pertama tentang Hamzah, pertama faktor luar yang mempengaruhi hamzah pada penciptaan Syair wujudiyahnya adalah, masa tumbuh kembangnya aliran sufi di Indonesia, memang pada masa itu banyak berkembang aliran sufi dan masa keemasan bagi pemikiran tasawuf, seperti dikutip pada buku Abdul Hadi juga; pada abad 16 adalah masa hidup para wali seperti Sunan Bonang dan Kalijaga yang tentu masalah sufistik tidak akan pernah lepas dari mereka. Juga diriwayatkan Sunan Bonang dan Giri ketika itu pergi ke Samudera Pasai untuk menuntut ilmu kepada Syekh Bari yang mengajarkan tasawuf Al Ghozali dan Rumi kepada mereka. Jadi pengalaman rohani dan kesufiannya terutama pemikiran aliran wujudiahnya dia representaikan pada sebuah karya sastra yang salah satunya adalah Syair Wujudiyah ini,
Yang kedua adalah tentang kedalaman dan makna syair tersebut yang tentu dilandaskan kepada kedalaman ilmu pengetahuan dan wawasan Islam Hamzah, nah! Faktor luar yang mempengaruhi hal itu adalah sejak lama kampung halaman Hamzah adalah tempat bersinggahnya para saudagar terutama dari Arab yang menurut sejarah Indonesia tidak terlepas dari misi dakwah Islamiyyah, sehingga kampung itu menjadi kampung Islami, banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan Islam, banyak orang pribumi yang masuk Islam sehingga lambat laun daerah ini menjadi daerah yang dihuni oleh para intelek-intelek islam, dan peradaban dan budayanya identik dengan Islam, Sehingga tidak mustahil Hamzah tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berwawasan islam yang baik, karena pengaruh lingkungannya. Selain itu menurut sejarah dia pernah mengembara ke pelbagai tempat untuk menambah pengetahuannya seperti ke Mekah, Madinah, Baghdad, Pahang (Tanah Melayu), dan Kudus (Pulau Jawa). Ia menguasai bahasa Arab dan Parsi di samping bahasa Melayu yang memang menjadi bahasa ibundanya.
Mengenai Rumi, faktor yang pertama adalah dunia Tasawuf pada masanya, seperti yang disebutkan diatas dia hidup semasa dengan tokoh-tokoh Sufi dan penyair serta para Ilmuwan yang cukup dikenal oleh sejarah Islam seperti Bayazid Bishtami, Mansur Al Hallaj, Fariduddin Attar, Syekh Junaid Al Baghdadi, Ahmad Ghozali, Ibnu Arabi, Mahghribi, Mahmud Habitari, Iraqi dan Jami. Tentu dengan kesemarakan dan bakatnya itulah dia terbawa menjadi seorang sufi dan penyair lalu mengekspresikan syair-syairnya sesuai denga aliran sufi yang dia anut terutama pada ajaran mahabbah pada kali ini, terlihat pada syair ‘Isyqul Ilahi’ dia mengekpresiakn cintanya kepada Allah dan juga takdirnya.
Yang kedua adalah sama halnya dengan Hamzah yaitu terletak pada kedalaman ilmu beliau yang memberikan sumbangsih pada keindahan dan kedalaman makna syairnya, faktor yang mempengaruhi adalah masa Abbsyiah yang diklaim sebagai masa keemasan ilmu, dan pengetahuan bagi umat Islam, sebagai orang yang berbakat dan cerdas tentu dia tumbuh berkembang menjadi anak yang cerdas karena pengaruh lingkungan dan menjadi salah satu tokoh ilmuwan pada masa itu.
8. Keterpengaruhan
Abdul Hadi mengatakan keterpengaruhan syair Hamzah oleh Rumi terlihat pada estetiknya, estetika berarti keindahan, yang saya amati berdasarkan kemampuan terbatas dan athifah yang tidak cukup bagus menghayati sebuah karya sastra, saya simpulkan ada beberapa pengaruh keindahan pada karya Hamzah oleh Jalaluddin Rumi yang pertama pada kesimpelan kalimat namun memiliki ma’na yang banyak, lihatlah syair “Isyqul Ilahi” ia tampak relatif pendek namun jika di dalami ada ma’na yang luas dalam tiap baitnya. Begitu juga pada syair wujudiyah, sangat pendek, namun bila dijelaskan lumayan panjang bahkan sangat panjang selain itu sangat susah untuk dipahami, karena kita tahu satu bait syair wujudiyah memiliki penafsiran tentang pemikiran tasawuf yang cukup rumit, kalau dalam bahasa arab kalimat seperti ini disebut i’jaz,
Yang kedua keterpengaruhan syair Hamzah oleh Rumi pada banyaknya suku kata pada tiap baitnya, yaitu kira-kira dari 8-12 dalam setiap lariknya, begitu juga kalau kita melihat pada syair Rumi terlihat suku katanya juga sekitar 8-12.
Yang ketiga pengaruh Rumi ada pada sisi simboliknya, kalau kita lihat memang kedua syair ini cenderung merupakan sastra simbolik, yaitu sastra yang didalamnya terdapat simbol-simbol yang sarat dengan makna disamping imajinasi. sebagai contoh lihat karya Rumi, disitu dia menyimbolkan kata “kulliyan” (Yang maha menyeluruh/ universal) dengan maksud Allah, disinilah letak dimana sastra ini disebut simbolik. Terus coba anda lihat juga pada karya Hamzah dia banyak menggunakan kata “Rahman” yang sebetulnya maknanya adalah Allah itu sendiri, jadi keterpengaruhan Hamzah yang ketiga ada pada kegemaran Rumi dalam menyimbolkan kata dalam syairnya. (Ahfa R Syach)

Read More..

KERAJAAN BIMA

KERAJAAN BIMA

Letak Geografis

Bima adalah Kabupaten Daerah Tingkat II di Propinsi Nusa Tenggara Barat dan kerajaan yang terpenting di pulau Sumbawa maupun di kawasan pulau-pulau Sunda Kecil pada kurun waktu abad ke I7-19. Dengan terbentuknya Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat melalui UU No. 64/1958, maka sebagian besar wilayah kerajaan Bima yang pada waktu itu masih berstatus sebagai Swapraja menjadi wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bima dengan ibukotanya di Raba-Bima. Batas wilayahnya di sebelah utara Laut Flores, sebelah selatan Samudera Hindia, sebelah timur Selat Sape, sedangkan batas sebelah barat adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Dompu. Secara fisiografi terletak pada 117’ 40’ 19° 10’ Bujur Timur dan 70° 30’ - 70° 91’ Lintang Selatan. Daerah Tingkat II ini terbagi menjadi 10 kecamatan yaitu kecamatan Monta, Bolo, Woha, Bebo, Wawo. Sape, Rasanae, Do`nggo dan Sanggar, meliputi 12 kelurahan dan 131 desa atau 436 dusun (Iingkungan). Luas wilayahnya 459.690 km persegi atau sama dengan dua puluh persen dan luas wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagian besar terdiri dan dataran tinggi dan hanya 138.924 km persegi berupa dataran rendah.

Kerajaan Bima merupakan salah satu diantara 6 kerajaan yang pernah ada di pulau sumbawa yaitu Dompo Sanggar, Tambora, Papekat, Sumbawa dan Bima. Sejak kapan dan bilamana kerajaan Bima didirikan dan oleh siapa belum ada sumber yang pasti. Dalam kitab Nagara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 M. di sebutkan bahwa Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang, Api, Bima, Seram atau Seran, Hutan Kadali termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Meskipun ahli-ahli arkeologi dan sejarah berpendapat bahwa nama-nama tersebut berlokasi di puau Sumbawa ataukah sebagai tempat singgah (pelabuhan para pelaut yang kemudian ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh para peneliti asing diperoleh informasi bahwa pada abad ke-19 wilayah kerajaan Bima meliputi: bagian timur pulau Sumbawa, Flores Barat (Manggarai) dan pulau-pulau kecil di Selat Alas dan sekitarnya. Menurut catatan Van Dijk pulau-pulau kecil itu berjumlah sekitar 66 buah.

Adapun luas kerajaan Bima sebagaimana tercantum dalam penjelasan kontrak antara Gubernur Celebes en Onderhoorigheden dengan sultan Bima pada tahun 1886 seluruhnya adalah 156 mil persegi dengan rincian di pulau Sumbawa ditambah dengan pulau-pulau kecil disekitarnya (kecuali Flores) adalah 71,5 mil persegi, dan di pulau Flores seluas 84,5 mil persegi.

Bima Sebelum Islam.

Tidak banyak yang dapat diungkapkan mengenai situasi dan kondisi Bima sebelum Islam, karena sumber-sumber yang berkenaan dengan periode tersebut masih langka. Kelangkaan sumber mungkin karena daerah Bima dan sekitarnya memang miskin dengan data sejarah dan arkeologi atau karena belum pernah dilakukan penelitian secara intensiv berkenaan dengan aspek kesejarahan maupun kepurbakalaannya. Orang-orang Belanda baru manaruh perhatian terhadap pulau Sumbawa pada abad ke-l7, sebelumnya mereka tidak pernah menganggap penting baik dari segi politik maupun perdagangan. Chambert Loir menghubungkan kelangkaan sumber itu karena perhatian orang-orang Belanda terhadap pulau Sumbawa lebih bersifat politik daripada dagang, selain itu pula usaha penelitian tidak dirangsang oleh aktivitas kebudayaan atau agama, sehingga pulau itu tidak menjadi sasaran penelitian yang mendalam.

Berdasarkan data etnografi diduga masyarakat Bima sebelum Islam seperti halnya orang-orang Donggo, yakni penduduk asli daerah Bima yang sekarang bermukim di pegunungan Lambitu dan Soromandi. Mereka memuja pada sejumlah benda yang dianggap mengandung kekuatan gaib, makhluk-makhluk supranatural (henca), dan roh-roh nenek moyang yang disebut parafu-pamboro. Seperti halnya orang-orang Donggo diduga masyarakat Bima pra-Islam terdiri dari berbagai kelompok yang dipimpin oleh kepala-kepala suku mereka yang disebut Ncuhi.

Ahmad Amin Menyebutkan; Bahwa kira-kira tahun I557 datang seorang dari Jawa dan kelima Ncuhi sepakat untuk rnengangkat orang tersebut menjadi raia Bima dengan gelar Sangaji. Menurut Bouman, para Ncuhi itu sehenarnya adalah tuan-tuan tanah yang berkuasa di wilayah masing-masing yang kemudian dipersatukan oleh Maharaja Sang Bima menjadi satu corak kerajaan yang bercorak kehinduan.

Keberadaan pengaruh Hindu, baik agama Hindu maupun agama Budha di daerah Bima dan sekitarnya tidak diragukan lagi, sebab hal itu didukung oleh data sejarah maupun bukti-bukti arkeologis. Permasalahannya adalah sejak kapan atau bilamana pengaruh Hindu itu muncul dan apakah kerajaan Bima yang dibangun oleh Sang Bima itu merupakan kerajaan yang berdaulat atau sebuah negara vazal (taklukkan) kerajaan-kerajaan Hindu-Jawa belum dapat dipastikan meskipun data sejarah dan bukti arkeologi yang ditemukan di Bima memberikan indikasi adanya hubungan Bima dengan pulau Jawa.

Bima Dalam Jaringan Pelayaran Perdagangan Nusantara

Berbicara mengenai posisi Bima dalam jaringan pelayaran serta keterlibatannya dalam aktivitas perdagangan, erat kaitannya dengan pembicaraan mengenai posisi serta kedududukan wilayah Nusa Tenggara dalam lintas pelayaran-perdagangan nusantara dimana pulau Sumbawa (termasuk Bima) di dalamnya. Kawasan Nusa Tenggara, mulai dan pulau Bali diujung barat sampai pulau Timor diujung timur terbentang pada jalur pelayaran-perdagangan nusantara yang diperkirakan sudah digunakan sejak abad ke-14. banyak sekali Negara-Negara yang mempergunakan jalur tersebut untuk berdagang dan salah satunya adalah cina. Jalur-jalur pelayaran orang-orang cina ke Timor adalah dengan alasan mengingat pulau Timor dan Sumba memiliki produk andalan yang tidak dapat diperoleh ditempat lain, yakni kayu cendana. Menurut Meilink Roelofsz, aktivitas perdagangan Malaka ini menyebabkan Islam tersebar luas. Dan dalam hubungan ini pula perdagangan tampaknya menjadi faktor penting dalam Islamisasi di seluruh Nusantana.

Posisi Bima dalam lintas pelayaran-perdagangan antara Malaka-Maluku atau sebaliknya serta keterlibatannya dalam aktivitas perdagangan mendorong munculnya Bima sebagai kota bandar maupun sebagai kota pusat kerajaan yang terpenting di kawasan Nusa Tenggara, sekaligus mempercepat proses Islamisasi dan munculnya Bima sebagai kerajaan Islam. Dengan kata lain proses Islamisasi di daerah Bima dan sekitarnya erat kaitannya serta didorong oleh

Keterlibatan Bima dalam, perdagangan regional maupun internasional yang pada waktu itu telah didominasi oleh pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang islam. Setelah Bima muncul sebagai kerajaan Islam datanglah para ulama dan mubalhig Islam dari berbagai daerah maupun dari mancanegara seperti Syeh Umar Al Bantami, ulama Arab yang datang dari Banten, Dato ri Bandang dan Dato ri Tiro; masing-masing berasal dari Minangkabau dan Aceh yang datang dari Makassar, Kadhi Jalaludin dan Syeh Umar Bamahsun, keduanya dari Arab. Mereka datang ke Bima untuk menyebarkan agama Islam atau karena sengaja diundang oleh penguasa (sultan) rnenjadi guru sultan dan keluarganya. kemudian diangkat menjad mufti (penasehat) kerajaan.

Hubungan Bima dengan Kerajaan-kerajaan Sekitarnya

Di dalam Bo kerajaan Bima disebutkan bahwa hubungan Bima dengan Pulau Jawa telah berlangsung sejak abad ke-10, pada waktu Raja Batara Mitra pergi ke Jawa dan disana ia kawin dan mendapatkan seorang anak bernama Manggampo Jawa. Setelah Batara Mitra meninggal di Jawa, Manggampo Jawa pulang ke Bima menggantikan ayahnya menjadi raja. Dari Jawa Ia membawa serta seorang pande bernama Ajar Panuh yang kemudian mengajar orang-orang Bima membangun candi, membuat batu bata dan mengajarkan kepandaian baca tulis.

Setelah Majapahit runtuh dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, hubungan ekonomi perdagangan antara Bima dengan Pulau Jawa dan daerah-daerah lain di kawasan barat Nusantara tetap berlangsung. Tome Pires menyebutkan bahwa kapal-kapal dari Malaka dan Jawa yang berlayar ke Maluku untuk mencari rempah-rempah singgah di Bima untuk berdagang dan mengambil air minum, bahan makanan untuk melanjutkan pelayaran mereka. Hubungan pelayaran-perdagangan ini selain mendorong munculnya Bima sebagai salah satu Bandar yang terpenting di kawasan Nusatenggara, juga mendorong munculnya Bima sebagai kerajaan dan pusat penyiaran Islam di kawasan itu.

Selain itu Bima pun menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, terutama kerajaan Gowa dan Tallo. Kapan hubungan itu mulai berlangsung belum dapat ditentukan secara pasti. Dalam bo kerajaan Bima disebutkan bahwa raja Bima, Manggampo Donggo belajar cara-cara mengendalikan pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi tata hadat yang berlaku di kerajaan Bima dikemudian hari dari kerajaan Gowa. Sejak itu pula hubungan dengan kerajaan Gowa dan Tallo berlangsung hingga terjalin hubungan keluarga rnelalui perkawinan.

Pemerintahan

Pemerintahan kerajaan Bima terdiri atas seorang raja yang bergelar sultan yang dalam bahasa daerah disebut Runia Sangaji Mbojo. Sultan Bima dalam mengendalikan pemerintahan dibantu oleh Dewan Kerajaan yang disebut Hadat. Keberadaan raja atau sultan dan Dewan Hadat itu merupakan hal yang umum dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, meskipun dengan penyebutan yang berbeda-beda sesuai dengan tradisi masing-masing. Di kerajaan Gowa, Dewan Kerajaan semacam itu dikenal dengan Batte Salapang, sedangkan di kerajaan Bone dengan nama Arung Pitue. Sultan dalam pandangan masyarakat Bima masa lalu dianggap sebagai wakil tuhan. Anggapan itu mengandung makna bahwa mentaati perintah raja atau sultan merupakan suatu kewajiban. Sedangkan menentang terhadap perintahnya berarti menentang perintah tuhan.

Sultan diwajibkan di istana (Asi) karena istana merupakan pusat pengendalian kekuasaan, agama, dan kebudayaan, termasuk didalamnya kesenian. Di istana itu pula majelis hadat mengadakan musyawarah terutama pada tiga hari besar kerajaan, yaitu hari raya Idul Fitri, Idul Ad’ha dan Maulud Nabi.

Kesultanan Bima Dalam Abad Ke-19

Seperti halnya Sumbawa, di Kesultanan Bima pada abad ke-19 struktur birokrasi tidak ada perubahan yang menonjol, raja bergelar sultan dan berada di puncak hirarki kekuasaan. Ia didampingi oleh sebuah Dewan Hadat yang dipimpin oleh Raja Bicara atau Ruma Bicara sebagai mangkubumi. Sultan dipilih oleh Dewan Hadat atas dasar keturunan dinasti sang Bima.

Tetapi pada pelaksanaannya, Kesultanan Bima tidak diikat oleh suatu hukum administrasi kesultanan yang tertulis. Hukum itu hanya menampakkan diri dalam bentuk tata kerja yang mengikat pelaksanaan tugas majelis “hadat” dan majelis hukum. Pelaksanaan lembaga “Hadat” dan “hukum” masing-masing dinamakan “syara-syara” dan ‘syara hukum”. Pengertian syara-syara berarti keseluruhan tugas pokok majelis “hadat” dalam menyelenggarakan pemerintahan kesultanan. (Ahfa R Syach)

Daftar Pustaka

Tawaluddin Haris, Susanto Zuhdi, Triana Wulandari, Kerajaan Tradisional Di Indonesia: Bima, Jakarta, CV Putra Sejati Raya, 1997.

Read More..

STRUKTUR LUAR DAN DALAM

I. Pengertian Struktur Luar

Struktur luar adalah struktur ayat pada permukaannya yang langsung kita dengar atau kita lihat secara tertulis.[1] Definisi lain yaitu bentuk luaran suatu kalimat.[2] Ada juga yang mengatakan struktur luar adalah struktur kalimat yang tampak, dapat didengar, dilihat, dan diraba.[3]

Jadi struktur luar adalah kalimat yang kita dengar secara langsung dan secara mentah-mentah keluar dari mulut atau apa yang kita lihat pada tulisan.

II. Pengertian Struktur Dalam

Struktur dalam adalah struktur ayat pada peringkat yang abstrak di dalam otak penutur sebelum ayat itu diterbitkan.[4] Ada pula yang mengatakan struktur dalam adalah gambaran yang mendasari suatu kalimat.[5] Dan ada juga definisi lain yaitu struktur kalimat yang tidak dapat didengar, dilihat, dan diraba.[6]

Teori di atas menganggap bahwa di dalam otak kita terdapat suatu peringkat representasi yang abstrak untuk kalimat yang kita terbitkan. Representasi dalaman yang abstrak ini dihubungkan oleh rumus-rumus transformasi dengan representasi luaran yaitu kalimat-kalimat yang kita dengar.

Dalam kebanyakan hal, makna suatu ujaran dapat dipahami dari urutan kata yang terdapat pada ujaran tersebut atau dari ciri-ciri tertentu masing-masing kata yang dipakai. Kalimat seperti:

(1) Lelaki tua itu masih dapat bermain tenis

dapat dipahami cukup dari urutan kata-kata yang terdengar atau terlihat. Siapa pun yang mendengar kalimat ini akan memberikan interpretasi makna yang sama, yaitu, adanya seorang lelaki, lelaki itu tua, dia dan dulu sampai sekarang bermain sesuatu, dan sesuatu itu adalah tenis.

Pada kasus yang lain, tidak mustahil bahwa suatu kalimat yang tampaknya sederhana ternyata memiliki makna yang rumit. Dalam kalimat (2), misalnya,

(2) Lelaki dan wanita tua itu masih dapat bermain tenis.

kita tidak yakin apakah lelaki itu juga tua seperti si wanita atau hanya wanitanya sajalah yang tua sedangkan lelakinya tidak. Interpretasi ini muncul karena adjektiva tua dapat berfungsi sebagai pewatas hanya pada nomina wanita saja atau pada frasa lelaki dan wanita

Jadi jelaslah bahwa makna suatu kalimat ternyata tidak hanya ditentukan oleh wujud permukaan yang terdengar atau terlihat saja tetapi bahkan terutama oleh representasi yang mendasarinya. Dengan kata lain, suatu kalimat tidak hanya memiliki struktur luar tetapi juga struktur dalam.

Perbedaan antara struktur luar dengan struktur dalam ini sangat penting untuk pemahaman kalimat karena proses mental yang dilalui oleh manusia dalam menanggapi kalimat-kalimat seperti ini berbeda dengan kalimat-kalimat yang tidak ambigu. Meskipun konsep struktur luar dan struktur dalam kini sudah tidak diikuti lagi oleh penggagasnya (Chomsky), dalam kaitannya dengan komprehensi ujaran kedua konsep ini rasanya masih sangat bermanfaat. Seseorang dapat memahami suatu kalimat hanya bila dia memahami apa yang terkandung dalam kalimat itu, bukan hanya dari apa yang terlihat atau terdengar dari kalimat tersebut.[7] (Ahfa R Syach)

DAFTAR PUSTAKA

Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Nababan, Sri Utari Subyakto. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Simanjuntak, Megantar. Pengantar Psikolinguistik Modern. Jakarta: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1987.

Tarigan, Henry Guntur. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa, 1985.



[1] Megantar Simanjuntak, Pengantar Psikolinguistik Modern (Jakarta: Dewan Bahasa dan Pustaka 1987), h. 115.

[2] Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik (Bandung: Angkasa 1985), h. 53.

[3] Sri Utari Subyakto Nababan, Psikolinguistik Suatu Pengantar (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 1992), h. 19.

[4] Simanjuntak, Pengantar Psikolinguistik Modern, h. 115.

[5] Tarigan, Psikolinguistik, h. 52.

[6] Nababan, Psikolinguistik, h. 19.

[7] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2003), h-h. 61-62.

Read More..

Analisis Cerpen "Gaza Telah Tertutup bagi Kita"

OUTLINE

BAB I : PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang 
  2. Rumusan Masalah
  3. Tujuan Penelitian
  4. Metode Penelitian
  5. Tehnik Penulisan

BAB II : KERANGKA TEORI.

  1. Pengertian Tema
  2. Penggolongan Tema 

BAB III : PEMBAHASAN.

  1. Sinopsis
  2. Analisis Tema 

BAB IV : PENUTUP DAN KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA 

BAB. I : PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Bagi orang-orang yang membaca novel tidak hanya bertujuan semata-mata mencari dan menikmati kehebatan cerita, biasanya akan segera menghadapkan diri pada pertanyaan: apa yang sebenarnya ingin diungkapkan pengarang lewat cerita itu? Atau, makna apakah yang dikandung sebuah novel dibalik cerita yang disajikan itu? Hal-hal yang dipertanyakan itu, memang, pada umumnya tidak diungkapkan secara ekplisit sehingga untuk memperolehnya diperlukan suatu penafsiran.[1]

Mempertanyakan makna sebuah karya, sebenarnya, juga berarti mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan menawarkan tema, namun apa isi tema itu sundiri tak mudah ditunjukkan . ia haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data yang lain, dan itu merupakan kegitan yang sering tidak mudah dilakukan. Kesulitan itu sejalan dengan kesulitan yang sering kita hadapi jika kita diminta untuk mendefinisikan tema.[2]

Tema adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari karya sastra, karena tema tersebuat adalah yang menjiwai seluruh isi dari karya sastra termasuk juga unsur-unsur di dalamnya, dalam pembuatan karya sastra semua isi karya sastra tersebut harus dijalankan atau dikembangkan sesuai tema yang telah ditentukan. Bisa diibaratkan tema adalah sebuah jalan tertentu dimana sang sopir yang diibaratkan pengarang harus membawa barang bawaan dalam mobilnya menyusuri jalan itu dan tidak boleh belok ke jalan lain. Tema inilah yang merupakan pokok pikiran, cita-cita atau pesan dari seorang pengarang yang ingin disampaikan kepada pembacanya yang mana cara penyampainya secara eksplisit, sehingga banyak sekali kasus bahwa tujuan utama ini (penyampaian pesan/ makna/ tema) tidak berhasil karena keterbatasan nalar pembaca.

Banyak sekali karya-karya sastra seperti cerpen, roman dan lain-lain yang telah dikonsumsi oleh masyarakat tapi sayangnya tidak semua makna yang terkandung didalamnya (tema) dapat dikonsumsi juga oleh mereka, karena terkadang para pembaca hanya memperhatikan kepada menariknya alur cerita tanpa menyelami apa makna yang ada di balik itu semua, mungkin karena alur ceritanya menarik seperti percintaan (dibawah lindungan ka’bah) atau menyedihkan seperti pemaksaan dalam perkawinan (Siti nurbaya) atau menegangkan seperti penindasan dan penjajahan (Gaza tertutup bagi kita)

Cerpen Gaza tertutup bagi kita adalah sebuah cerpen arab yang menggambarkan tentang kisah seseorang yang mengalami penderitaan akibat kondisi politik, penjajahan dan kejahatan kemanusiaan di jalur Gaza (Palestina) oleh orang-orang israel, dalam kisah ini diceritakan bagaimana orang-orang Israel dengan kejamnya membunuh orang Palestina dengan persenjataan yang bermacam macam, peluru berhamburan kesana kemari, setiap hari pasti ada korban yang meninggal, cerpen ini sangat menarik untuk dibaca karena memang sangat menegangkan akibat tragedi kemanusiaan yang amat memilukan itu.

Untuk itulah mungkin pada kali ini penulis akan mencoba menganalisa cerpen tersebut untuk mengeluarkan tema atau makna apa sih yang ada dibalik isi karya tersebut yang semua itu tidak diniatkan kecuali agar hanya menjadi sekedar informasi atau sumbangsih saya yang sedikit terhadap dunia kesusastraan

  1. Rumusan Masalah

1. Apa tema dari cerpen yang berjudul ”Gaza Tertutup Bagi Kita” ini?

2. Termasuk pada golongan manakah tema pada cerpen yang berjudul ”Gaza Tertutup

           Bagi Kita” Ini?

  1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tema dari cerpen yang berjudul ”Gaza tertutup bagi kita”ini.

2. Untuk dapat mengetahui dari golongan manakah tema pada cerpen yang berjudul

    ”Gaza Tertutup Bagi Kita”ini

  1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Analisis Deskriptif dengan pendekatan intristik. Yaitu dengan menganalisa dan mengungkap tema atau makna yang tersirat dalam cerpen ini. lalu menggolongkan tema dari cerpen tersebut dari beberapa perspektif.

  1. Tekhnik Penulisan

- Bab I     : Pendahuluan berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan  penelitian, dan                     metode penelitian dan tekhnik penulisan.

- Bab II   : Gambaran umum tentang tema dan penggolongan tema

- Bab III  : Sinopsis dan analisis tema pada cerpen “Gaza Telah Tertutup bagi Kita”.

- Bab IV  : Penutup dan kesimpulan

BAB II. KERANGKA TEORI

  1. Pengertian Tema

Tema sastra adalah gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan oleh sastrawan dalam bentuk bahasa. Atau, pokok pikiran yang mendominasi jiwa sastrawan yang kemudian menjadi landasan utama bagi pengucapannya.[3]

           Menurut Stanton dan Kenny tema adalah makna yang dikandung sebuah cerita. Namun banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita itu, maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau jika berbagai makna itu dianggap sebagai bagian-bagian tema, sub-sub tema atau tema-tema tambahan makna yang manakah dan bagaimanakah yang dianggap sebagai makna pokok sekaligus tema pokok novel yang bersangkutan?[4]

           Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok, atau tema, itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidak hadiran peristiwa-konflik situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang harus disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka iapun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak.[5]

  1. Penggolongan Tema

Tema dapat digolongkan ke beberapa kategori yaitu penggolongan dikotomi yang bersifat tradisional atau nontradisional, penggolongan dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.

1. Tema tradisional dan non tradisional.

          Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang itu-itu saja, dalam arti ia telah lama digunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita. Contoh: kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, tindak kejahatan walau ditutuptutupi akan terbongkar juga. Dll.

         Tema nontradisional adalah tema sebuah karya yang mengangkat sesuatu yang tidak lazim, kadangkala tema seperti ini tidak seperti harapan pembaca karena melenceng, melawan arus, mengejutkan, melawan kebenaran dan lain sebagainya, contoh: kejujuran yang justru menyebabkan kehancuran.

2. Tingkatan tema menurut Shipley

          Shipley dalam Dictionary Of World Literature mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan kedalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya sastra kedalam tingkatan-tingkatan-semuanya ada lima tingkatan-berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia.[6] Yaitu:

Pertama, tema tingkat fisik yaitu tema karya sastra yang lebih banyak menyaran atau ditunjukkan oleh aaktifitas fisik atau dengan kata lain lebih menekankan mobilitas fisik dari pada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Contoh: arround the world in eight days.

Kedua, tema tingkat organik, yaitu tema karya sastra yang lebih banyak menyangkut atau mempersoalkan masalah seksualitas. Seperti pernikahan, perselingkuhan dan lain sebagainya

Ketiga, tema tingkat sosial, yaitu tema karya sastra yang lebih banyak menyangkut atau mempersoalkan masalah sosial. Seperi politik, ekonomi, konflik dan lain sebagainya.

Keempat, tema tingkat egoik, yaitu tema karya sastra yang lebih banyak menyangkut atau mempersoalkan masalah individualitas. Seperti harga diri, martabat, egoisitas dan lain sebagainya.

Kelima, tema tingkat divine, yaitu tema karya sastra yang lebih banyak menyangkut atau mempersoalkan masalah hubungan manusia dengan sang pencipta. Seperti masalah religiositas, keyakinan, pandangan hidup dan lain sebagainya.

3. Tema utama dan tema tambahan

            Tema seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat: makna cerita. Makna cerita dalam sebuah karya mungkin saja lebih dari satu, atau lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita untuk menemukan tema pokok cerita.

Tema utama (tema mayor) adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu.

Tema tambahan (tema minor) adalah makna tambahan yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita.

BAB. III. PEMBAHASAN

  1. Sinopsis

           Cerpen ”Gaza Tertutup Bagi Kita” ini merupakan cerita pendek yang ditulis oleh Laila Al-Haddad yang telah diterjemahkan dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Cerpen ini dapat dikategorikan ke dalam jenis non fiksi karena memang cerpen ini merupakan cerita pendek yang diambil dari kisah dan pengalaman seseorang dalam menjalani hidup di tengah-tengah konflik yang ada di negaranya. Gencatan senjata terjadi dimana-mana, suara tembakan peluru dan miliu menjadi hal yang biasa terdengar di telingannya walaupun memekakkan telinga.

Perstiwa ini terjadi di Gaza, sejarah yang bercerita bahwa sejak dulu Gaza merupakan tanah Palestina. Pada abad ke-13 SM oleh orang-orang Palestina. Gaza telah dijadikan kota pelabuhan penting. Namun apa yang terjadi sekarang ini? Gaza menjadi daerah yang sangat berbahaya. Di tanah Palestina itu, tentara Israel dapat dengan sesuka hati menebarkan kematian dan penganiayaan.

Setiap saat kematian itu datang dengan cara yang tidak diduga. Kematian itu bisa datang ketika mereka sedang berkumpul dengan anggota keluarga. Kematian itu bisa juga datang ketika mereka berdiri di pinggir jalan. Bagi mereka mati itu bukanlah sebuah terminasi, tapi garis transisi untuk memulai hidup baru di alam yang baru. Karena itu kematian adalah sebuah kehormatan. Penganiayaan terjadi di setiap ruas jalan ketika warga melakukan perlawanan. Dan kematian bagi warga Palestina bukanlah suatu hal yang menakutkan dan bukan pula sesuatu yang harus dihindari.

Demi kebebasan mereka rela mati, demi martabat bangsa dan negara mereka ikhlas mati. Dan demi negara Palestina mereka mengorbankan nyawa mereka. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pertikaian dan perang di tanah Palestina ini. Diantaranya adalah faktor politik negara dan agama yang tak kunjung padam selama bertahun-tahun belakangan ini, sehingga menyebabkan munculnya multi konflik lainnya yang terjadi dalam peristiwa ini.

  1. Analisis Tema

Cerita ini banyak sekali memuat tentang tragedi-tragedi kemanusian seperti pembunuhan, penculikan, penyiksaan dan lain sebagainya, latar belakang dari kejadian itu semua adalah penjajahan oleh orang-orang Israel yang tentu memiliki maksud dan kepentingan tertentu, kurang lebih kalau kita tengok kembali sejarah krisis politik itu salah satunya disebabkan oleh perebutan daerah yang masing-masing kelompok memiliki prinsip kepemilikan daerah tersebut, orang-orang israel beserta tentaranya yang mendapat dukungan negara-negara barat lebih mendominasi konflik tersebut, mereka dipersenjatai dengan persenjataan lengkap sehingga dengan mudah bisa melenyapkan orang-orang Palestina dengan mudah yang notabennya adalah orang-orang yang lemah dan tidak memiliki persenjataan kecuali ketapel dan batu.

Berdasarkan komentar di atas, saya membuat kesimpulan bahwasannya cerita ini mengandung sebuah tema (makna) yaitu ”kejamnya penjajahan dan hilangnya hati nurani karena adanya kepentingan tertentu yang menyebabkan penderitaan manusia” alasan saya kenapa memilih tema ini adalah karena memang alur dari cerita ini adalah sebuah konflik yang berkepanjangan dan tidak berimbang. Untuk itulah saya sebut penjajahan, lalu juga didalamnya terdapat penindasan yang teramat kejam oleh bangsa Israel yang tidak bisa lagi diterima oleh hati nurani, dan tentu segala sesuatu tersebut didasari oleh sebuah kepentingan ddan yang selanjutnya menyebabkan penderitan sekelompok orang. Nah empat point itulah yang saya pikir mendasari secara umum seluruh isi cerpen tersebut termasuk unsur-unsur intrinstik didalamnya, sehingga pada alur cerita tidak lebih dari konflik, pembunuhan, penyerangan, penculikan, yang diluar batas kemanusiaan.

Setelah menemukan tema dari cerpen ini selanjutnya tema ini akan saya golongkan ke berbagai sudut, pertama dari sudut dikotomi (tradisional atau nontradisional) berdasarkan analisa saya menilai bahwa tema dari cerpen ini bersifat tradisional karena tema ini masih sesuai dengan apa yang diinginkan pembaca atau lebih identik dengan hal yang wajar dan seharusnya terjadi (sesuai dengan kebenaran), karena memang pada cerpen ini kita dituntut untuk simpati terhadap orang-orang palestina yang serba menderita dan mengutuk orang-orang Israel, lain halnya dengan tema nontradisional yang mungkin mendukung ketidak benaran (bukan mendukung kebaikan) mungkin akan saya kategorikan tema ini ketema nontradisional jika tema dan alur cerita dari cerpen ini adalah dukungan kita atau simpati kita atau apresisi kita terhadap kegiatan orang-orang dan tentara Israel, tapi ternyata itu tidak.

Yang kedua dari sisi tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dari kelima tingkatan pengalaman jiwa menurut Shipley, tema cerpen ini adalah tema tingkat sosial, karena memang cerpen ini berbicara tentang keadaan sosial di daerah Gaza yang sedang mengalami krisis politik dan kita tahu hal-hal yang bersifat politik adalah hal-hal yang berbau sosial. Dan cerpen ini juga menyingkap bagaimana interaksi sosial dan kehidupan bermasyarakat antara orang Palestina dengan orang Palestina itu sendiri maupun dengan orang-orang Israel yang dibungkus dengan sebuah konflik, jadi tidak diragukan lagi bahwa tema dari cerpen ini merupakan tema tingkat sosial jika dilihat menurut tingkatan pengalaman jiwa menurut Shipley.

Yang ketiga adalah dari tingkat keutamaannya. Kalau dari sisi ini sudah jelas bahwa tema utama (tema mayor) dari cerpen ini adalah ”kejamnya penjajahan dan hilangnya hati nurani karena adanya kepentingan tertentu yang menyebabkan penderitaan manusia” seperti yang telah dibahas diatas, karena saya pikir itulah yang menjiwai dan yang menyetir serta yang mengembangkan isi cerita cerpen ini, lalu mengenai tema tambahan (tema minor) saya kira ada beberapa tema, diantaranya adalah perang di jalan Allah (jihad) adalah pekerjaan yang mulia dan peperangan yang tidak seimbang, dua tema tersebut saya anggap merupakan tema tambahan karena memang ada pada sebagian alur cerita dan kurang mewakili makna seluruh cerita, tema perang di jalan Allah (jihad) misalkan dia hanya berbicara tentang jihad, kita kurang tahu jihad untuk apa, ekspansi ataukah membela diri. Juga dengan tema peperangan yang kurang seimbang karena memang bukan hanya peperangan yang ada pada cerita ini tapi juga keadaan individual yang mengalami tekanan dan penderitaan, jadi mungkin tema ini kurang mewakili seluruh cerita, sedangkan tema ”kejamnya penjajahan dan hilangnya hati nurani karena adanya kepentingan tertentu yang menyebabkan penderitaan manusia” yang kita pilih sebagai tema mayor sangat mewakili seluruh isi cerita sekaligus memaknainya sebagai peperangan, penjajahan, kesengsaraan individual, dan unsur-unsur politik didalamnya.

BAB. IV. PENUTUP DAN KESIMPULAN

             Demikianlah analisa tema terhadap cerpen yang berjudul ”Gaza telah tertutup bagi kita” kesimpulannya adalah bahwa tema dari cerpen ini adalah ”kejamnya penjajahan dan hilangnya hati nurani karena adanya kepentingan tertentu yang menyebabkan penderitaan manusia” lalu tema ini dipandang dari sudut dikotomi merupakan tema tradisional karena memang membela pada hal kebenaran dan bukan sebaliknya, sedangkan dari sudut pandang pengalaman jiwa menurut shipley tema ini merupakan tema tingkat sosial karena didalamnya menjelaskan tentang keadaan sosial dibawah tekanan penjajahan. Lalu yang terakhir dipandang dari sisi tingkat keutamaan, tema utama dari cerpen ini adalah seperti yang disebutkan di atas yaitu ”kejamnya penjajahan dan hilangnya hati nurani karena adanya kepentingan tertentu yang menyebabkan penderitaan manusia” karen itu yang mewakili dan menjiwai seluruh isi cerita dan tema tambahannya diantaranya adalah ” perang di jalan Allah (jihad) adalah pekerjaan yang mulia dan peperangan yang tidak seimbang. Kedua tema tersebut hanya ada pada sebagian alur cerita saja. (Ahfa R Syach)

Daftra Pustaka

Nurgiyantoro Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2002

Muzakki Akhmad. Kesusastraan Arab “Pengantar Teori Dan Terapan”

Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2006



[1] Dr. Burhan Nurgiyantoro, M.Pd, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2002), h. 66.

[2] Ibid.

[3] Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab ‘Pengantar Teori Dan Terapan” (Jogjakarta: Ar Ruzz Media 2006), h. 85.

[4] Dr. Burhan Nurgiyantoro, M.Pd, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2002), h. 67.

[5] Ibid. h. 68.

[6] Ibid. h. 80

Read More..
SELAMAT DATANG.....!!! Happy Fun and Enjoy....

Mau menjelajah...?

Welcome...



Thanks For Joining

Selamat datang di sahara's community, sebuah blog pribadi, namun saya namakan sahara's community karena blog ini adalah rumah ilmu bagi siapapun yang mengunjungi blog ini, Blog ini adalah blog sastra, namun juga terdapat artikel umum hasil corat-coret tangan. semua makalah sastra yang tertulis adalah tugas-tugas kuliah selama menjadi mahasiswa di UIN Jakarta, semoga bermanfaat untuk referensi dan perbandingan. Bagiku .... dunia maya lebih indah dari pada dunia yang sesungguhnya..... salam


 

Design by Amanda @ Blogger Buster