2009-01-09

KERAJAAN BIMA

KERAJAAN BIMA

Letak Geografis

Bima adalah Kabupaten Daerah Tingkat II di Propinsi Nusa Tenggara Barat dan kerajaan yang terpenting di pulau Sumbawa maupun di kawasan pulau-pulau Sunda Kecil pada kurun waktu abad ke I7-19. Dengan terbentuknya Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat melalui UU No. 64/1958, maka sebagian besar wilayah kerajaan Bima yang pada waktu itu masih berstatus sebagai Swapraja menjadi wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bima dengan ibukotanya di Raba-Bima. Batas wilayahnya di sebelah utara Laut Flores, sebelah selatan Samudera Hindia, sebelah timur Selat Sape, sedangkan batas sebelah barat adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Dompu. Secara fisiografi terletak pada 117’ 40’ 19° 10’ Bujur Timur dan 70° 30’ - 70° 91’ Lintang Selatan. Daerah Tingkat II ini terbagi menjadi 10 kecamatan yaitu kecamatan Monta, Bolo, Woha, Bebo, Wawo. Sape, Rasanae, Do`nggo dan Sanggar, meliputi 12 kelurahan dan 131 desa atau 436 dusun (Iingkungan). Luas wilayahnya 459.690 km persegi atau sama dengan dua puluh persen dan luas wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagian besar terdiri dan dataran tinggi dan hanya 138.924 km persegi berupa dataran rendah.

Kerajaan Bima merupakan salah satu diantara 6 kerajaan yang pernah ada di pulau sumbawa yaitu Dompo Sanggar, Tambora, Papekat, Sumbawa dan Bima. Sejak kapan dan bilamana kerajaan Bima didirikan dan oleh siapa belum ada sumber yang pasti. Dalam kitab Nagara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 M. di sebutkan bahwa Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang, Api, Bima, Seram atau Seran, Hutan Kadali termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Meskipun ahli-ahli arkeologi dan sejarah berpendapat bahwa nama-nama tersebut berlokasi di puau Sumbawa ataukah sebagai tempat singgah (pelabuhan para pelaut yang kemudian ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh para peneliti asing diperoleh informasi bahwa pada abad ke-19 wilayah kerajaan Bima meliputi: bagian timur pulau Sumbawa, Flores Barat (Manggarai) dan pulau-pulau kecil di Selat Alas dan sekitarnya. Menurut catatan Van Dijk pulau-pulau kecil itu berjumlah sekitar 66 buah.

Adapun luas kerajaan Bima sebagaimana tercantum dalam penjelasan kontrak antara Gubernur Celebes en Onderhoorigheden dengan sultan Bima pada tahun 1886 seluruhnya adalah 156 mil persegi dengan rincian di pulau Sumbawa ditambah dengan pulau-pulau kecil disekitarnya (kecuali Flores) adalah 71,5 mil persegi, dan di pulau Flores seluas 84,5 mil persegi.

Bima Sebelum Islam.

Tidak banyak yang dapat diungkapkan mengenai situasi dan kondisi Bima sebelum Islam, karena sumber-sumber yang berkenaan dengan periode tersebut masih langka. Kelangkaan sumber mungkin karena daerah Bima dan sekitarnya memang miskin dengan data sejarah dan arkeologi atau karena belum pernah dilakukan penelitian secara intensiv berkenaan dengan aspek kesejarahan maupun kepurbakalaannya. Orang-orang Belanda baru manaruh perhatian terhadap pulau Sumbawa pada abad ke-l7, sebelumnya mereka tidak pernah menganggap penting baik dari segi politik maupun perdagangan. Chambert Loir menghubungkan kelangkaan sumber itu karena perhatian orang-orang Belanda terhadap pulau Sumbawa lebih bersifat politik daripada dagang, selain itu pula usaha penelitian tidak dirangsang oleh aktivitas kebudayaan atau agama, sehingga pulau itu tidak menjadi sasaran penelitian yang mendalam.

Berdasarkan data etnografi diduga masyarakat Bima sebelum Islam seperti halnya orang-orang Donggo, yakni penduduk asli daerah Bima yang sekarang bermukim di pegunungan Lambitu dan Soromandi. Mereka memuja pada sejumlah benda yang dianggap mengandung kekuatan gaib, makhluk-makhluk supranatural (henca), dan roh-roh nenek moyang yang disebut parafu-pamboro. Seperti halnya orang-orang Donggo diduga masyarakat Bima pra-Islam terdiri dari berbagai kelompok yang dipimpin oleh kepala-kepala suku mereka yang disebut Ncuhi.

Ahmad Amin Menyebutkan; Bahwa kira-kira tahun I557 datang seorang dari Jawa dan kelima Ncuhi sepakat untuk rnengangkat orang tersebut menjadi raia Bima dengan gelar Sangaji. Menurut Bouman, para Ncuhi itu sehenarnya adalah tuan-tuan tanah yang berkuasa di wilayah masing-masing yang kemudian dipersatukan oleh Maharaja Sang Bima menjadi satu corak kerajaan yang bercorak kehinduan.

Keberadaan pengaruh Hindu, baik agama Hindu maupun agama Budha di daerah Bima dan sekitarnya tidak diragukan lagi, sebab hal itu didukung oleh data sejarah maupun bukti-bukti arkeologis. Permasalahannya adalah sejak kapan atau bilamana pengaruh Hindu itu muncul dan apakah kerajaan Bima yang dibangun oleh Sang Bima itu merupakan kerajaan yang berdaulat atau sebuah negara vazal (taklukkan) kerajaan-kerajaan Hindu-Jawa belum dapat dipastikan meskipun data sejarah dan bukti arkeologi yang ditemukan di Bima memberikan indikasi adanya hubungan Bima dengan pulau Jawa.

Bima Dalam Jaringan Pelayaran Perdagangan Nusantara

Berbicara mengenai posisi Bima dalam jaringan pelayaran serta keterlibatannya dalam aktivitas perdagangan, erat kaitannya dengan pembicaraan mengenai posisi serta kedududukan wilayah Nusa Tenggara dalam lintas pelayaran-perdagangan nusantara dimana pulau Sumbawa (termasuk Bima) di dalamnya. Kawasan Nusa Tenggara, mulai dan pulau Bali diujung barat sampai pulau Timor diujung timur terbentang pada jalur pelayaran-perdagangan nusantara yang diperkirakan sudah digunakan sejak abad ke-14. banyak sekali Negara-Negara yang mempergunakan jalur tersebut untuk berdagang dan salah satunya adalah cina. Jalur-jalur pelayaran orang-orang cina ke Timor adalah dengan alasan mengingat pulau Timor dan Sumba memiliki produk andalan yang tidak dapat diperoleh ditempat lain, yakni kayu cendana. Menurut Meilink Roelofsz, aktivitas perdagangan Malaka ini menyebabkan Islam tersebar luas. Dan dalam hubungan ini pula perdagangan tampaknya menjadi faktor penting dalam Islamisasi di seluruh Nusantana.

Posisi Bima dalam lintas pelayaran-perdagangan antara Malaka-Maluku atau sebaliknya serta keterlibatannya dalam aktivitas perdagangan mendorong munculnya Bima sebagai kota bandar maupun sebagai kota pusat kerajaan yang terpenting di kawasan Nusa Tenggara, sekaligus mempercepat proses Islamisasi dan munculnya Bima sebagai kerajaan Islam. Dengan kata lain proses Islamisasi di daerah Bima dan sekitarnya erat kaitannya serta didorong oleh

Keterlibatan Bima dalam, perdagangan regional maupun internasional yang pada waktu itu telah didominasi oleh pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang islam. Setelah Bima muncul sebagai kerajaan Islam datanglah para ulama dan mubalhig Islam dari berbagai daerah maupun dari mancanegara seperti Syeh Umar Al Bantami, ulama Arab yang datang dari Banten, Dato ri Bandang dan Dato ri Tiro; masing-masing berasal dari Minangkabau dan Aceh yang datang dari Makassar, Kadhi Jalaludin dan Syeh Umar Bamahsun, keduanya dari Arab. Mereka datang ke Bima untuk menyebarkan agama Islam atau karena sengaja diundang oleh penguasa (sultan) rnenjadi guru sultan dan keluarganya. kemudian diangkat menjad mufti (penasehat) kerajaan.

Hubungan Bima dengan Kerajaan-kerajaan Sekitarnya

Di dalam Bo kerajaan Bima disebutkan bahwa hubungan Bima dengan Pulau Jawa telah berlangsung sejak abad ke-10, pada waktu Raja Batara Mitra pergi ke Jawa dan disana ia kawin dan mendapatkan seorang anak bernama Manggampo Jawa. Setelah Batara Mitra meninggal di Jawa, Manggampo Jawa pulang ke Bima menggantikan ayahnya menjadi raja. Dari Jawa Ia membawa serta seorang pande bernama Ajar Panuh yang kemudian mengajar orang-orang Bima membangun candi, membuat batu bata dan mengajarkan kepandaian baca tulis.

Setelah Majapahit runtuh dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, hubungan ekonomi perdagangan antara Bima dengan Pulau Jawa dan daerah-daerah lain di kawasan barat Nusantara tetap berlangsung. Tome Pires menyebutkan bahwa kapal-kapal dari Malaka dan Jawa yang berlayar ke Maluku untuk mencari rempah-rempah singgah di Bima untuk berdagang dan mengambil air minum, bahan makanan untuk melanjutkan pelayaran mereka. Hubungan pelayaran-perdagangan ini selain mendorong munculnya Bima sebagai salah satu Bandar yang terpenting di kawasan Nusatenggara, juga mendorong munculnya Bima sebagai kerajaan dan pusat penyiaran Islam di kawasan itu.

Selain itu Bima pun menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, terutama kerajaan Gowa dan Tallo. Kapan hubungan itu mulai berlangsung belum dapat ditentukan secara pasti. Dalam bo kerajaan Bima disebutkan bahwa raja Bima, Manggampo Donggo belajar cara-cara mengendalikan pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi tata hadat yang berlaku di kerajaan Bima dikemudian hari dari kerajaan Gowa. Sejak itu pula hubungan dengan kerajaan Gowa dan Tallo berlangsung hingga terjalin hubungan keluarga rnelalui perkawinan.

Pemerintahan

Pemerintahan kerajaan Bima terdiri atas seorang raja yang bergelar sultan yang dalam bahasa daerah disebut Runia Sangaji Mbojo. Sultan Bima dalam mengendalikan pemerintahan dibantu oleh Dewan Kerajaan yang disebut Hadat. Keberadaan raja atau sultan dan Dewan Hadat itu merupakan hal yang umum dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, meskipun dengan penyebutan yang berbeda-beda sesuai dengan tradisi masing-masing. Di kerajaan Gowa, Dewan Kerajaan semacam itu dikenal dengan Batte Salapang, sedangkan di kerajaan Bone dengan nama Arung Pitue. Sultan dalam pandangan masyarakat Bima masa lalu dianggap sebagai wakil tuhan. Anggapan itu mengandung makna bahwa mentaati perintah raja atau sultan merupakan suatu kewajiban. Sedangkan menentang terhadap perintahnya berarti menentang perintah tuhan.

Sultan diwajibkan di istana (Asi) karena istana merupakan pusat pengendalian kekuasaan, agama, dan kebudayaan, termasuk didalamnya kesenian. Di istana itu pula majelis hadat mengadakan musyawarah terutama pada tiga hari besar kerajaan, yaitu hari raya Idul Fitri, Idul Ad’ha dan Maulud Nabi.

Kesultanan Bima Dalam Abad Ke-19

Seperti halnya Sumbawa, di Kesultanan Bima pada abad ke-19 struktur birokrasi tidak ada perubahan yang menonjol, raja bergelar sultan dan berada di puncak hirarki kekuasaan. Ia didampingi oleh sebuah Dewan Hadat yang dipimpin oleh Raja Bicara atau Ruma Bicara sebagai mangkubumi. Sultan dipilih oleh Dewan Hadat atas dasar keturunan dinasti sang Bima.

Tetapi pada pelaksanaannya, Kesultanan Bima tidak diikat oleh suatu hukum administrasi kesultanan yang tertulis. Hukum itu hanya menampakkan diri dalam bentuk tata kerja yang mengikat pelaksanaan tugas majelis “hadat” dan majelis hukum. Pelaksanaan lembaga “Hadat” dan “hukum” masing-masing dinamakan “syara-syara” dan ‘syara hukum”. Pengertian syara-syara berarti keseluruhan tugas pokok majelis “hadat” dalam menyelenggarakan pemerintahan kesultanan. (Ahfa R Syach)

Daftar Pustaka

Tawaluddin Haris, Susanto Zuhdi, Triana Wulandari, Kerajaan Tradisional Di Indonesia: Bima, Jakarta, CV Putra Sejati Raya, 1997.

0 komentar:

SELAMAT DATANG.....!!! Happy Fun and Enjoy....

Mau menjelajah...?

Welcome...



Thanks For Joining

Selamat datang di sahara's community, sebuah blog pribadi, namun saya namakan sahara's community karena blog ini adalah rumah ilmu bagi siapapun yang mengunjungi blog ini, Blog ini adalah blog sastra, namun juga terdapat artikel umum hasil corat-coret tangan. semua makalah sastra yang tertulis adalah tugas-tugas kuliah selama menjadi mahasiswa di UIN Jakarta, semoga bermanfaat untuk referensi dan perbandingan. Bagiku .... dunia maya lebih indah dari pada dunia yang sesungguhnya..... salam


 

Design by Amanda @ Blogger Buster