2009-02-03

Harapan Cinta

An ... Aku merindukan budayaku, lingkunganku, cara hidup masyarakatku, dan santun lembut nuansa penduduk persinggahanku.

Aku ingin suatu hari cintaku bersemi dalam
balutan itu,
Aku ingin membangun suasana peraduanku di tengah hijau padi melebat,
di tengah semilir angin daun pohon di waktu senja
dan diantara adzan kaum nahdiyyin nan merdu

Bersama pasangan hidup yang suci
dan setia menemaniku dengan lembut meraih tiket ke nirwana sang pemilik cinta (Ahfa R Syach)

Read More..

Doa Cinta Untuk Tuhan


Kasih.... Semoga Kebersamaan ini abadi,
takkan pernah hanyut dilalui rentang waktu dan zaman.

Ada salam dari hatiku, dia berkata tidak kuat untuk berpisah,
sebuah salam yang selalu mengajak kepada kebersamaan,
dia tidak sanggup jika qolbumu tersentuh oleh qolbu lain.

Perkenankanlah dia bersama dengan qolbumu, untuk memadu kasih dan kerinduan, seiring melaksanakan komitmen yang telah terucap,
sampai tuhan membuka kedermawaannya dengan membuka tabir keridhoan.

Tuhan kami....
Komitmen kami begitu mulia, kami berusaha untuk memperbaiki
Diri dengan bimbingan cinta dan kasih kami,
kami akan selalu menuturkan kata demi langkah - langkah
perubahan kami, kami akan selalu mengirimkan salam sebagai
penyalur rasa rindu dan keinginan kami yang sangat kuat untuk
memadu cinta di hari esok.

Perkenankanlah ya tuhan kami...
bentangkanlah perpaduan yang luas
untuk cinta dan kasih sayang kami,
karena itulah satu - satunya yang kami miliki untuk
meneruskan amanat hidup ini yang amat sangat melelahkan.

Perkenankanlah kami wahai pemilik cinta.....
kami hanya ingin memanfaatkan dengan baik cinta kami,
yang sebenarnya adalah anugerah dari zatmu yang maha indah,
Perkenankanlah kami hidup dengan
Cinta ini untuk menuju kehidupan yang lebih kekal. (Ahfa R Syach)

Read More..

Janji Dua Hati

Dan ketika kami memutuskan untuk saling mengerti,
maka biarkanlah dua hati kami berbicara
tentang impian kami,
tentang hasrat kami, dan kerinduan kami

Kemudian kami menjadi takjub, kamipun saling menjaga,
dan kamipun berjanji untuk menyatukan kedua hati
agar yang berbeda dan meski berbeda menjadi serasi
dan agar yang kosong dapat terisi dengan sempurna.

Semuanya akan kami wujudkan berdua
karena perbedaan kami bukanlah kendala
selagi kami masih memakai bahasa yang sama
dan bahasa itu bernama CINTA. (Ahfa R Syach)



Read More..

Tuhan


Jika sang filosof Ibnu Rusyd benar bahwa alam adalah kekal sama halnya dengan tuhan, aku hanya bisa mengadu kepada alam agar ia menasehati tuhan agar Ia berlaku adil terhadapku. Dan jika memang hakekat alam semesta terungkap oleh logika Ibnu Sina, biarlah ruh ini hancur berkalang tanah beserta badannya, dan dalam kehidupan reinkarnasi semoga tuhan tidak menciptakan cinta, karena itu hanya sumber kehancuran, sehingga jiwaku dapat bersih dan dapat kembali kehadirat tuhan.

Ternyata tuhan ingkar atas apa yang tersabdakan dalam helaian firmannya yang agung, Ia menyiksa sebuah jiwa yang sedang terpenjara oleh ragaku, sehingga badankupun harus rela menanggung penderitaan itu, hingga darah dan air mataku beriringan mengalir. Aku sudah capek menentang dan menghina tuhan dan Islampun gelap dalam mata hatiku. (Ahfa R Syach)

Read More..

2009-02-02

ANALISIS SYAIR TENTANG TAUBAT ABU NAWAS



I. PENDAHULUAN

a. Latar belakang masalah
Mendengar nama Abu Nuwas, Muslim Indonesia dibetot oleh pandangan awal bahwa ia adalah seorang yang jenaka dan penuh kelakar. Sebuah dongeng yang sering dituturkan oleh orang-orang tua Muslim terhadap anak-anaknya. Pandangan ini sebenarnya menyederhanakan masalah. Sebab, Abu Nuwas sendiri merupakan sosok yang kontroversial, bukan hanya sebagai tokoh dan ahli bercerita jenaka. Sebaliknya, Abu Nuwas adalah seorang yang dikenal “pemberontak teologis” terhadap model Islam ortodoks.

Selain itu Abu Nuwas tidak hanya sebagai orang yang berani menentang ortodoksi (dan kalangan khalifah, agamawan dan umara’), akan tetapi ia juga dilihat sebagai orang (yang dituduh) zindiq oleh penguasa Dinasti ‘Abbasiyah. Pemberontakan yang dilakukan Abu Nuwas didorong oleh situasi di mana pada masanya, berbagai persoalan, seperti hukum, bahasa, filsafat, agama, dan politik Islam “disistematisasikan” oleh kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyah sebagai bentuk despotisme dalam pengetahuan dan praktik politik.

Abu Nuwas juga kontroversial, karena sebagai seorang Muslim, ia banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang secara syar’i (agama) dilarang. Ia bangga untuk melakukan perbuatan perbuatan dosa kecuali syirik. Saat orang rajin shalat justru Abu Nuwas meremehkan shalat, di saat orang berlomba-lomba menunaikan ibadah haji, Abu Nuwas justru tidak begitu tertarik dengan ritual seperti itu, kecuali hajinya atas desakan seorang wanita, dan karenanya terpaksa. Bahkan Abu Nuwas menyukai minum khamar sehingga terkenal sebagai penyair khamr. Hal in tampaknya merupakan suatu kebanggaan tersendiri, terutama untuk menunjukkan eksistensi keturunan (nasab) keluarga. Khamr bagi Abu Nuwas, dijadikan kompensasi kekecewaan perasaan atau ketika merasa kosong jiwanya dan untuk menghindarkan diri dan kesibukan yang harus diselesaikannya. Khamr merupakan segala-galanya dalam kehidupannya, karena mampu menghantarkannya ke dalam suasana ekstase ke alam bayangan yang indah. Bahkan, khamr menjadi tujuan pertama hidup dan lebih daripada menjalankan perintah agama. Disamping itu, Abu Nuwas juga menyukai wanita di satu sisi, dan mencintai sesama jenis (laki-laki) di sisi lain.
Pada masa hidup Abu Nawas Masyarakat Baghdad saat itu terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang mengambil kesempatan dan memanfaatkan segala yang ada ini untuk mengumpulkan kekayaan dunia, berfoya-foya dan hedonis. Kedua, menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat yang hedonis untuk berkontemplasi, merefleksikan segala yang ada untuk menemukan jati diri. Abu Nuwas, meskipun melalui kehidupan yang pertama, pada akhirnya cenderung memilih model kehidupan yang terakhir, sebagaimana-diekspresikan dalam puisi-puisi zuhudnya (Taubat).

Kejayaan Kepenyairan Abu Nuwas menjadi sangat tersohor karena ia menjadi penyair istana dan Ar-Rasyid sendiri sangat menyukai dan sangat memperhatikan sastra dan puisi. Abu Nuwas dianggap sebagai pembaharu sastra ‘Abbasiyah karena telah banyak menemukan bentuk-bentuk puisi baru, menggunakan gaya mutakallimun, istilah-istilah filsafat dan pengetahuan ilmiah. Penemuan bentuk puisi baru dibuktikan dengan dicatatnya dia dalam sejarah sastra Arab sebagai penya’ir khamriyyat. Penggunaan gaya mutakallimun ditunjukkannya dengan kebiasaan berdebat dan berargumentasi dengan lawan bicara menyangkut keyakinan tertentu.

Banyak karyanya yang telah menjadi sejarah dan diakui oleh berbagai kalangan baik pada masa klasik maupun sampai sekarang karena keindahan dan keunikannya, baik puisi-puisi gilanya maupun puisi-puisi taubatnya di akhir hayatnya. Untuk sekedar berkarya dan meramaikan dunia sastra saya sebagai penulis merasa tertarik untuk menganalisa salah satu syair taubatnya untuk sekedar lebih memahami secara mendalam kandungan-kandungan yang tersembunyi dalam karya sastra Abu Nuwas

Banyak sekali teori yang digunakan untuk menganalisa sebuah karya sastra, seperti teori mimetik, ekspresif, pascastrukturalis, reepsi, strukturalisme dan lainnya, namun diantara teori teori tersebut ada sebuah teori yang diakui paling baik dan banyak dilakukan untuk mengkaji dan menganalisa karya sastra, teori itu bernama teori strukturalisme, maka untuk memaksimalkan kajian ini saya ingin mengkaji karya satra Abu Nuwas menggunakan teori strukturalisme

b. Teori Strukturalisme
Sebenarnya semua teori sastra sejak Aristoteles telah menekankan pentingnya pemahaman struktur dalam analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. Termasuk ke dalam kelompok ini beberapa teoretisi Formalis Rusia seperti Roman Jakobson, tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istiiah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (Abrains, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik (yang berpandangan babwa karya sastra adalab tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang) dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.

Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan berkembng secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaitan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme (di bidang matematika, logika. fisika. biologi, psikologi, antropologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya) dapat dipersatukan dengan adanya pembaharuan dalam ilmu batasa yang dirintis Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua mempunyai kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Desaussure (Bertens, 1985: 379-381).
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya mempero!eh artinya didalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi ataupun kontras dan paodi (Hartoko, 19861,: 135-135).

Strukturalisme Perancis, yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva, mengembangkan seni penafsiran sruktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiolkultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.

Strukturalisme sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori sastra, sebagaimana dituntut oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu objek penelitiannya, yakni karya sastra diidentifikasi sebagai suatu benda seni (artefact) yang indah karena penggunaan bahasanyä yang khusus. Objek studi teori strukturalisme itu ditempatkan dalam suatu sistem atau susunan relasi-relasi yang memudahkan pengaturannya. Dengan sistem ini kita menghimpun dan menemukan hubungan-hubungan yang ada dalam realitas yang diamati (Bakker, 1992: 14). Sistematika semacam ini berfungsi meletakkan aksentuasi dalam cara penanganan objek kajiannya. Dengan demikian teori strukturalisme memperkenalkan metode pemahaman karya sastra dengan langkah-langkah sistematis.

Oleh karena teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra sebagai “artefak” maka relasi-relasi struktural sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dalam keseluruhan relasi unsur-unsur artefak itu sendiri. Jika dicermati, sebuah teks sastra terdiri dari komponen-komponen seperti: ide, tema, amanat, latar, watak dan perwatakan, insiden, plot, dan gaya bahasa. Komponen-komponen tersebut memiliki perbedaan aksentuasi pada berbagai teks sastra. Strukturalisme sastra memberi keluasan kepada peneliti sastra untuk menetapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikasi. Keluasan ini tetap harus dibatasi, yakni sejauh komponen-komponen itu tersurat dalam teks itu sendiri. Jadi teks sastra berfungsi mengontrol objektivitas dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini menempatkan teori strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan yang luas.

Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagal teori yang ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah. Ketiga ciri ilmiah itu adalah: 1) sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori Strukturalisme sastra mengarah pada tujuan. yang jelas yakni eksplikasi tekstual; 2) sebagai metode ilmiah (scientific method), teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-Iangkah yang tertib untuk mencapai kesimpulan yang valid, yakni melalui pengkajian erosentrik; dan 3) sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum dan luas dan dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.

Sekalipun demikian, teori strukturalisme yang hanya menekankan otonomi dan pninsip objektivitas pada struktur karya sastra memiliki beberapa kelemahan pokok. 1) Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan re1evansi sosialnya, tercerabut dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan manusia. 2) karya satra tidak dapat diteliti dalam rangka konvensi-konvensi kesusastraan sehingga pemahaman kita mengenai genre dan system sastra sangat terbatas.

c. Sejarah Singkat Abu Nuwas
Abu Nuwas adalah Hasan bin Hani Abd Al-Awwal bin As-Sabah. Abu Nuwas dilahirkan di daerah Ahwaz salah satu bagian kota kazakstan di Iran pada tahun 145 H./762 M. Ayah Abu Nuwas, menurut sebagian pendapat, adalah seorang sekretaris di Syam. Sementara menurut pendapat yang lain, ayahnya adalah seorang tentara yang mengabdi kepada Marwan bin Muhammad, salah satu khalifah Bani Umayyah.

Pada saat melakukan ekspansi ke kota Ahwaz, ayah Abu Nuwas mempersunting seorang wanita yang akhirnya menjadi ibu Abu Nuwas. Wanita tersebut bernama Julluban, wanita asli Iran yang sangat menyukai pakaian wool di samping pandai menenun. Dijelaskan oleh Ibnu Manzhur, bahwa Julluban adalah seorang mucikari dan memiliki biro jasa untuk mengumpulkan barang-barang temuan. Orang tua Julluban adalah seorang Yaman sehingga Abu Nuwas mempunyai garis keturunan (nasab) Yaman. Hal ini diungkapkan oleh Abu Nuwas ketika ditanya apakah dia dari suku Tamim. Sepontan ia menjawab bahwa ia dari Yaman sebagaiman dalam sya’ir: “Apakah engkau dari Tamim? Sepertinya Tidak. Saya dan Bani Al-Hayyi Al-Yamani.”

Pada usia dua tahun ayahnya meninggal, sehingga ibunya mengajaknya untuk tinggal di Basrah. Demi memenuhi dahaga intelektual dan seninya, ia belajar banyak, baik ilmu-ilmu keagamaan, pemikiran, bahasa, dan sastra. Ilmu-ilmu keagamaan ia serap secara intensif, fatwa dan berbagai mazhab fiqh, tafsir baik tentang nasakh dan mansukh, serta muhkam dan mutasyabihat serta hadis. Di sinilah Abu Nuwas melalui masa mudanya dengan bekerja sebagai pembuat parfum atau minyak wangi. Di sini pula Abu Nuwas mulai menampakkan kecenderungannya yang kuat terhadap bahasa, sastra dan puisi. Hal ini karena Bashrah merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Abu Nuwas sangat rajin menghadiri forum-forum ilmiah dan kajian-kajian sastra sehingga ia bisa mengambil apa saja yang dimaui.

Kehidupan Abu Nuwas di Bashrah tersebut menjadikannya sangat paham dan familier dengan budaya masyarakat Bashrah yang rasional. lbn Qutaibah menyebutkan bahwa Abu Nuwas adalah orang yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Ia menguasai berbagai macam pengetahuan dengan baik, di antaranya adalah ilmu perdukunan dan ilmu alam. Kemudian, Abu Nuwas mulai menjalani kehidupan gilanya, bermabuk-mabukan di waktu sepinya.

Di sini Abu Nuwas bertemu dengan Walibah bin al-Hubbab al-Asadi, salah seorang penyair cabul dan Kufah. Oleh Walibah, ia diajak berkeliling ke beberapa wilayah, dan Baghdad kemudian ke Kufah. Di tempat yang terakhir ini, ia dikenalkan Walibah dengan teman-temannya sesama penyair cabul. Ia pun belajar kepada mereka, menyerap ilmu-ilmu mereka sehingga dalam dirinya muncul kecenderungan untuk menjalani kehidupan yang rusak ini. Hal ini dimulai dengan timbulnya rasa cinta kepada Jaria yang dipanggil dengan Jinan.

Menurut Ibnu Manzhur, Jaria adalah satu-satunya wanita yang dicintai Abu Nuwas. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan abu Nuwas dengan kesediaannya menunaikan haji demi memenuhi permintaan kekasihnya itu, sebagaimana dalam syair:

“Apakah engkau tahu alangkah sia-sianya umurku, karena permintaannya, sementara permintaanya itu suift kupenuhi.
Ketika tak kudapatkan alasan untuk mendekatinya, maka terpaksa kulakukan Ini.
Aku telah menunaikan ibadah haji, dan telah kukatakan bahwa aku benar-benar telah haji, Jinan.
Akhirnya kemudahan telah menyatukan aku dengannya.”

Abu Nuwas menjalani kehidupan tradisionalnya untuk mengasah ketajaman bahasa dan kefasihan menjadi orang Arab. Setelah minta izin kepada Walibah, ia langsung bergabung dengan salah satu suku Arab badui, yaitu Bani Asad. Selama satu tahun, ia begelut dengan suku ini sebelum kemudian bergabung dengan suku lain, Halabah As-Sibaq, yang kebanyakan masyarakatnya merupakan imigran.

Setelah itu, Abu Nuwas berpindah lagi ke Bashrah sehingga berakhir sudah persahabatannya dengan Walibah. Masa itu digunakan untuk mendalami Al-Qur’an. Setelah matang, ia disuruh gurunya untuk meninggalkan Bashrah dan memilih Baghdad sebagai tempat tujuan. Begitu sampai di kota ini, ia langsung bergabung dengan masyarakat Barmakit dan serta merta ia menyebarkan sya’ir-sya’ir pujiannya untuk mendapatkan upah.

Abu Nuwas adalah salah seorang penyair yang hidup pada tiga generasi: masa khalifah Al-Mahdi (158-169 H./775-785 M.), Harun ar-Rasyid (170-193 H./786-809 M.), dan Al-Amin (198 H./ 813 M.), dimana pemerintahan Islam yang berpusat di Baghdad, khususnya pada masa ar-Rasyid mencapai puncak kejayaannya.

II. ANALISIS SYAIR
Salah satu syair taubat Abu Nawas yang cukup terkenal adalah:

يَا رَبُّ إِنْ عَظَمَتْ ذنُوُبْىِ كَثْرَةً فَلَقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ عَفْوَكَ أَعْظَمُ
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ فَبِمَنْ يَلُوْذُ , وَ يَسْتَجِيْرُ اْلمُجْرِمُ
أَدْعُوْكَ رَبُّ كَمَا أَمَرْتَ تَضَرُّعًا فَإِذَا رَدَدْتَ يَدَيَّ فَمَنْ ذَا يَرْحَمُ
مَالِى إِلَيْكَ وَسِيْلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا وَجَمِيْلُ عَفْوِكَ .......ثُمَّ أَنِّى مُسْلِمٌ


Wahai tuhan jika dosa-dosaku sangat banyak lagi besar, Niscaya aku tahu bahwa bahtera ampunanmu amat jauh lebih besar.

Jika tiada orang yang mengharap kepadamu kecuali orang-orang yang baik, maka kepada siapakah orang yang berbuat dosa meminta pertolongan dan perlindungan.

Aku memohon kepadamu dengan pasrah wahai tuhan seperti engkau menyuruh orang-orang untuk menyerahkan diri kepadamu
Tetapi jika engkau menolak permohonanku siapa lagikah yang akan memberikan rahmat dan kasih sayang

Tiada penguhubung antara aku dan engkau kecuali sebuah harapan dan keelokan ampunanmu…………….sehingga aku bisa menjadi Muslim yang haqiqi

a. Struktur/ Uslub

Ada beberapa uslub kalimat dalam syair ini diantaranya adalah

1. Thibaq.
Yaitu pada kalimat
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ فَبِمَنْ يَلُوْذُ , وَ يَسْتَجِيْرُ اْلمُجْرِمُ
Pada bait diatas terjadi berkumpulnya dua kata yang berlawanan dalam suatu kalimat yaitu pada kata “Muhsin” dan kata “al Mujrim yang artinya Orang baik dan orang yang berdosa, dan karena kedua katanya yang berlawanan itu berbeda positif dan negatifnya maka hal ini diebut Thibaq Salab

2. Qashar
Yaitu pada kalimat
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ
Dalam bait di atas terdapat sebuah pengkhususan bahwasanya orang-orang yang berharap (maqsur) adalah orang-orang yang baik saja (maqsur ‘alaih), atau dengan kata lain dikhususkannya orang sebuah pengaharapan untuk orang-orang baik saja. Adatul qasri pada bait di atas adalah Nafyi لاdan Istisna.إلا . karena pengharapan adalah sifat dan orang baik itu adalah orang yang disifati (Mausuf), maka qashar pada satar ini diebut Qosru sifat ‘ala mausuf . dan karena maqsur pada kalimat ini tidak mutlak untuk muhsin (maqur ‘alaih) saja (tidak menurut hakekat dan kenyataannya) dengan bukti yang berharap kepada tuhan bukan orang-orang yang baik saja maka ini disebut Qoshar Idhafi

Dan pada kalimat

مَالِى إِلَيْكَ وَسِيْلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا
Dalam bait di atas terdapat sebuah pengkhususan bahwasanya adanya interaksi diriku (maqsur) kepada engkau (tuhan) hanyalah ada ketika ada sebuah pengharapan (maqsur ‘alaih), atau dengan kata lain dikhususkannya adanya interaksi aku dengan tuhan jika ada pengharapan kepada tuhan saja . Adatul qasri pada bait di atas adalah Nafyi ماdan Istisna.إلا . Karena adanya aku adalah mausuf (yang disifati) dan pengharapan adalah sifat maka qashar pada satar ini diebut Qosru mausuf ala shifat. dan karena maqsur pada kalimat ini tidak mutlak untuk muhsin (maqsur ‘alaih) saja (tidak menurut hakekat dan kenyataannya) dengan bukti tidak mungkin pengaharapan terebut adalah satu-satunya yang membuat dia interaki dengan tuhan maka ini disebut Qoshar Idhafi

3. Ithnab
Pada keseluruhan syair ini ditangkap bahwa syair ini mengandung uslub Ithnab, karena terkesan memboros boroskan kata untuk maksud yang sedikit, maksud dalam syair ini adalah bahwa Abu Nuwas mengakui akan dosanya yang amat besar dan mengakui bahwa samudera ampunan tuhan lebih besar dan akan selalu merahmati dan menyayangi dengan tidak membedakan status manusia itu sendiri.

4. I’jaz
Pada sepotong kalimat terakhir ثُمَّ أَنِّى مُسْلِمٌ terdapat kandungan I’jaz karena sesungguhnya makna yang terkandung di dalamnya banyak tetapi diungkapkan dengan kalimat yang sedikit, makna seharusnya pada kalimat itu adalah agar benar-benar bisa menjadi muslim yang haqiqi dan sempurna, karena bukan saja hanya untuk menjadi muslim saja seperti yang kita pahami secara leksikal dalam kalimat itu karena Abu Nuwas Sebelumnya sudah muslim hanya saja kemuslimannya kurang sempurna karena segala perangai negatif dan sifat-sifat gilanya.

5. Kalam Insyai
Pada keseluruhan syair ini ternyata ini disebut kalam insya karena semuanya tidak mengandung pengertian membenarkan dan tidak pula mendustakan, dan karena syair itu terkesan sebuah seruan/ pengaharapan atau dengan kata lain kalimat-kalimat pada syair itu digunakan untuk menghendaki keberhasilan sesuatu yang belum berhasil saat kehendak itu dikemukakan oleh karena itu kalam insya yang demikian diebut dengan kalam Insya Thalabi

b. Fikroh
Tema atau pokok pikiran pada syair ini adalah sebuah pengakuan abu Nuwas terhadap dosa-dosanya yang amat besar dan pengakuan terhadap samudera ampunan tuhan yang lebih luas dan besar yang akan selalu mengampuni dan memberikan kasih sayang tanpa membeda-bedakan siapapun hamba itu,

c. Khayal
Berbicara tentang daya khayal seorang penyair ketika membuat sebuah syair, tentu kita tidak tahu persis. Kita hanya mampu mempersepsikan secara subjektif. Menurut penulis ketika Abu Nuwas membuat syair ini daya khayalnya tertuju kepada pengagungan dan pengapresiasian kepada tuhan karena dia sangat pemurah walaupun sebesar apapun dosa hambanya sehingga dia sempat mengahayal bahwa tidak ada satupun penghubung antara dia dengan tuhannya, dia merasa terpisah dengan tuhannya kecuali satu hal yang menghubungkannya kepada tuhan yaitu pengharapannya,

d. “Athifah
Penulis yakin perasaan/ rasa yang dialami oleh Abu Nuwas ketika membuat syair ini adalah perasaan sedih, bersalah, dan penyesalan atas yang ia lakukan selama ini, perasaan sedih dan penyesalannya amat bergejolak sehingga ia mampu menciptakan syair ini yang sangat mengharukan. (Ahfa R Syach)

DAFTAR PUSTAKA

Al Jarim, Ali. dan Musthafa Utsman. Terjemahan Al balaghatul Wadhihah. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994.

Anwari, Muhammad Hamid. Teologi Negatif Abu Nuwas. Yogyakarta: Elkis, 2001.

Anshoriyah, Siti. Al Turas: Abu Nuwas: Intelektual dan Humanitas Puisi. Jakarta: Fakultas Adab, 2004.

Taum, Yoseph Yapi. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Mardiyuana, 1997.











Read More..

Sastra Pada Masa Jahilliyah




I. KEMASYARAKATAN

1. Corak kemasyarakatan

Pada umumnya masyarakat arab terbagi menjadi dua golongan, yaitu Badui dan hadzor atau kita kenal dengan masyarakat modern dan masyarakat klasik (tradisional). Masyarakat klasik umumnya adalah mereka yang tinggal di daerah padang pasir, gurun, lembah dan lainnya, sedangkan masyarakat modern (waktu itu) adalah mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan.

Dari segi corak kehidupan kedua golongan diatas tentu berbeda, untuk masyarakat modern mereka lebih maju, rumah-rumah mereka terbuat dari batu, batu bata, dan gamping dan aksesoris kehidupannyapun sudah banyak, kuda, perhiasan-perhiasan, baju-baju sudah ada pada masyarakat tersebut, mereka banyak mengkonsumsi korma, biji-bijian, daging dan yang lainnya. Di masyarakat ini pula sudah ada pusat-pusat produktifitas seperti pembuatan pedang, pasar dan sebagainya yang merupakan sumber aktifitas masyarakat setempat dan juga tidak sedikit dari mereka yang bercocok tanam. Berbeda dengan masyarakat badui; mereka mengandalkan daging dan susu unta atau domba untuk kebutuhan pangan dan aktifitasnya terbatas pada perburuan mencari kayu sedangkan perempuan-perempuan mereka memintal kapas dan mengerjakan pekerjaan rumah.

2. Sosial Politik

a. Masyarakat Badui
Masyarakat ini terbagi dari kabilah-kabilah yang diantaranya dipilih seorang pemimpin yang dinilai mampu menjadi panutan dan mempunyai sifat-sifat yang khusus, pemimpin inilah yang memimpin mereka berperang dan sebagai ujung tombak untuk mengambil segala kebijakan masyarakat ketika terdapat permasalahan, dan diantara mereka terdapat tokoh tokoh yang bertugas untuk menjaga kerukunan dan menyelesaikan masalah-masalah tertentu.

b. Masyarakat Modern
System sosial perpolitikan masyarakat ini berbeda dengan Badui, masyarakai ini, contohnya kaum Quraisy, diantara mereka terdapat seorang pemimpin yang mana masyarakat setempat wajib taat dan patuh terhadapnya, kepemimpinan ini tidak hanya tunggal tapi terbagi menjadi bagian-bagian yang bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing. Contoh lain di daerah yaman (Daulah Khumair) telah ada penghancuran agama oleh raja mereka (Yahudi) terhadap agama Nasrani yang berkembang pada masa itu. Selain itu telah banyak pula terdapat politik ekspansi pada waktu itu.

3. Intelektualitas

Kabilah-kabilah di arab, mereka tidak mengisolasikan diri namun mereka mengadakan interaksi dengan kabilah-kabilah lain sehingga terjadilah tranformasi ilmu diantara mereka, selain itu mereka juga suka belajar dari pengalaman, karena seringnya berperang mereka mengenali kuda-kuda mereka dari jenisnya yang lain, mereka juga tahu penyakit-penyakit hewan-hewan dan penyakit manusia sekalipun, mereka mengobatinya dengan rerumputan, mereka juga telah mengetahui bagaimana bercocok tanam yang baik juga pengetahuan lainnya yang dihasilkan dari adanya interaksi diantara mereka.

4. Kehidupan Beragama

Agama atau kepercayaan masyarakat jahiliyyah amat bermacam-macam diantaranya adalah: Yahudi, Nasroni, Watsani, Hanifi, dan Sabi’I. Agama watsani adalah yang menyembah berhala, pada masa itu banyak sekali terdapat patung berhala disana, Latta, Manat, Uzza, Hibl, adalah sekian dari patung patung yang ada, Hibl adalah patung Quraisy pertama di Arab yang dibawa oleh Umar ibnu Luhai dari balqo’ (Syam). Uzza adalah rumah ibadah bagi quraisy dan bani kinayah di daerah Wadi (antara Makkah dan Thoif) yang berbentuk pohon besar yang diatasnya terdapat bangunan dan konon bangunan ini telah dirobohkan oleh khalid bin walid, atas perintah Rosulullah, tidak jauh berbeda juga dengan latta dan manat yang juga merupakan tempat peribadatan kaum watsaniyah. Sebagian kaum arab yang lain beragama Yahudi dan kebanyakan kaum ini tinggal di Yatsrib, khoibar dan taima’ dan yang terkenal diantara mereka adalah Dzu Nawas yang telah memerangi kaum Nasrani. Tidak ketinggalan Nasrani, agama ini juga cukup mendominasi di wilayah Arab, kisah dibakarnya kaum Nasroni di Akhdud merupakan bukti bahwa sudah cukup banyak masyarakat Arab yang beragama Nasroni terutama di Najran, begitu juga daulah Ghisasanah telah didominasi oleh Nasrani dan hanya sedikit dari mereka yang beragama Hanif yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS.

II. BAHASA

1. Bahasa Arab

Kalau kita tinjau historis agama pada masyarakat Arab terbagi menjadi dua yaitu: agama utara yaitu bahasa yang ada di Yaman, yang lebih dikenal dengan bahasa Khumairiyyah dan bahasa selatan yang ada di Hijaz, Bahrain, iraq, dan Syam, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya ukiran prasasti yang ditemukan. Untuk bahasa utara telah ditemukan ukiran yang tertulis pada tahun 800 sebelum masehi yang berhuruf “musnad” dan konon bahasa ini dipakai oleh masyarakat Yaman dan untuk penulisan mereka menulisnya dengan huruf Musnad. Untuk bahasa selatan telah ditemukan ukiran anmaroh di khauron (syam) dan ukiran itu tertulis diatas kuburan umru’ul Qois pada tahun 328 M dengan Bahasa Arab berhuruf Nabat, dan yang kedua adalah ukiran Zabat yang ditemukan didaerah sebelah barat Farat (syam) yang tertulis pada tahun 512 M berbahasa Arab dan berhuruf Arab. Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan secara umum di wilayah selatan sedangkan Yaman masih menggunakan Bahasa Khumairiyyah tetapi tidak ada larangan bagi masyarakatnya untuk belajar bahasa selatan (Arab)

2. Macam-macam lahjah

Setiap suku di arab mempunyai lahjah berbahasa Arab yang berbeda beda namun tidak ada larangan jika diantara mereka ada yang ingin belajar atau berbicara dengan bahasa Arab Umum, seperti kabilah Bikr mereka berbicara dengan menambah ) س ( contoh: أعطيك mereka mengatakan أعطيكس , ح dibaca ع , lafadz Imalah atau yang lainnya, tetapi pada masa itu para penyair tidak pernah menggunakan lahjah tersebut, dalam syairnya mereka selalu menggunakan bahasa Arab Fushaa. (Umum)


3. Lahjah Quraisy

Kaum quraisy mempunyai lahjah khusus diantara lahjah-lahjah kabilah lain, dan konon lahjah ini sering dipelajari dan diterima oleh kabilah-kabilah lain karena mengingat kaum ini paling banyak berinterkasi dengan orang-orang Arab, dalam perdagangan maupun muamalah lainnya sehingga secara tidak langsung lahjah ini menjadi lahjah/ bahasa umum pada masyarakat setempat, karena memang lahjah ini dinilai sempurna dari lahjah-lahjah lainnya, dan setelah islam datang agama ini tetap menjadi agama yang mulia karena Alqur’an sebagai Mu’jizat Nabi menggunakan Lahjah/ bahasa ini.

III. Syair Jahili

Syair menurut masyaraakat Arab adalah sebuah jejak/atsar yang besar dimana dengan itu kita bisa memahami kehidupan masyarakat, jika kaum-kaum lain bangga dengan bangunan-bangunan megah maka Arab bangga dengan syair-syairnya, Dan bagi mereka syair menempati martabat yang amat tinggi.

Banyak sekali peneliti berusaha mengungkap hal-hal yang mendasari syair jahili tetapi dari pembahasan mereka tidak ditemukan jawaban yang kongkrit dan menyeluruh. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa syair tercipta ketika para penyair menunggang kuda karena dengan suara telapak kaki kuda mereka bisa menciptakan dasar-dasar syair, ada juga yang mengatakan bahwa yang mendasari syair adalah saja’ dan ada juga yang mengatakan bahwa yang mendasari syair adalah lagu.

Syair-syair jahili sudah ada sejak dulu kala tetapi banyak yang tidak sampai kepada kita menurut sejarah orang pertama yang syairnya sampai kepada kita adalah syair Muhalhal bin Robiah At Taghlibi dari kabilah robi’ah, karena itu kabilah ini merupakan kabilah pertama dimana diketahui adanya syair. Dan penyair-penyair lain dari kabilah ini adalah Kharits ibnu halzah, A’sya, dan Umar ibnu Kultsum dan lain-lain. Dan kabilah kedua adalah kabilah qois dan diantara penyair-penyairnya adalah Nabhighoh Adzibyani, Nabhighoh Alja’di, dan Lubaid Ibnu Robi’ah, sedangkan kabilah ketiga adalah kabilah Tamim, dan dari ketiga kabilah inilah dikatakan mulai munculnya syair dan dari ketiga kabilah ini juga syair-syair diruwatkan.

Periwayatan Syair

Periwayatan syair pada masa ini adalah dengan cara periwayatan (penghafalan perowi dan syair) bukan dengan ditulis karena tulis-menulis pada masa ini adalah masih terbatas. Dan ketika pada masa Islampun perowian syair masih kuat dan terjaga, seperti halnya Abu Bakar dia adalah perowi keturunan dan syair dan ketika terdapat konflik antara makkah dan madinah dialah yang mengumandangkan syair-syair.

Maksud-maksud/ tujuan Syair Jahili

-Untuk Puiian

-Penghinaan
ليأتينك منى منطق قذع باق كما دنس القبطية الودك

-Menampakkan belas kasihan
أيتها النفس أجملى جزعا إن الذى تحذرين قد و قعا

-Kebanggaan
وإن تسألينى فإنى امرؤ اهين اللئيم و احبو الكريما

-Kebanggaan atas kemenangan perang
متى ننقل الى قوم رحانا يكونوا فى اللقاء لها طحينا

-Untuk merayu
أفاطم قبل بينك متعينى و منعك ما سألت كأن تبينى

-Imajinasi
فصاد لنا أكحل المقلتين فحلا و أخرى مهاة نوارا

-Meminta belas kasihan
فلو غير أحوالى ارادوا نقيصتى جعلت لهم فوق العرانين ميساما

-Berhikmah
و الحمد لا يشترى الا له ثمن مما يضن به الأقوام معلوم

IV. Prosa Jahili

Prosa adalah sebuah kalam yang lafad-lafadnya terpilih, urutannya tertib dan bentuk dan ibarat-ibratnya bagus yang digunakan untuk mempengaruhi pendengar dengan cara yang bagus. Kalam itu berbeda dengan kalam-kalam biasa dan macam-macamnya adalah:

-Khitobah
Adalah kalam yang ma’nanya bagus, baik susunannya kuat dan dipergunakan untuk mempengaruhi para pendengarnya. Terkadang ini digunakan untuk menyampaikan buah pikiran, memberikan irsyadat ataupun melarang tentang suatu hal (kesesatan).
Syarat-syarat khotib haruslah fasih dalam berbahasa Arab, berpenampilan menarik, bersuara lantang, banyak berintonasi dan lain-lain

-Perumpamaan/ Pribahasa
Adalah perkataan yang pada intinya adalah menyerupakan antara satu hal dengan hal yang lainnya. Terkadang hal itu dipergunakan untuk mengingatkan pembelajaran dan lain- lain

-Cerita-cerita
Adalah sebuah kalam yang menceritakan kembali hal-hal yang pernah terjadi pada masa lampau. Hal ini digunakan untuk mengingatkan tentang hikmah-hikmah atas suatu kejadian yang pernah terjadi pada masa lampau. (Ahfa R Syach)

Daftar Pustaka:

Dr. Abdul Aziz Muhammmad Al Faishol. Al Adabul Arobi Wa Tarikhuhu. 1405 H

Al Mujizu fil Adabil Arobi.


Read More..

PRINSIP DIDAKTIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA




I. PENDAHULUAN

Keberhasilan proses belajar mengajar (PBM) dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti metode mengajar, sarana-prasarana, materi pembelajaran, kurikulum, dll. Dari berbagai aspek itu, yang memegang peranan penting PBM adalah guru. Selengkap apapun sarana-prasarana, kaiau tidak ditunjang oleh kompetensi guru terhadap bidang studi yang diajarkan maka pengajaran tidak akan berhasil.

Bagi pembelajaran bahasa, kompetensi yang harus dimiliki guru bahasa tidak hanya penguasaan teori-teori serta materi bahasa saja. Tetapi yang lebih utama, guru harus mengikuti Prinsip-prinsip didaktik sebagai bekal dalam menyampaikan materi

Didaktik sebagai atauran-aturan yang harus diikuti pengajar ketika mengajarkan sisawa, terbukti mampu menjadikan proses belajar mengajar menjadi lebih terarah, baik dan memberikan hasil yang lebih maksimal.

Terutama dalam pembelajaran bahasa, prinsip didaktik amat diperlukan, karena pengajaran bahasa termasuk pengajaran yang relative susah dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Maka seorang pengajar bahasapun harus menerapkan prinsip-prinsip didaktik agar pengajaran bahasa bisa berhasil secara optimal.

II. PEMBAHASAN

a. Pengertian

Didaktik berasal dari bahasa yunani didaskein yang berarti pengajaran dan didaktikos yang berarti pandai mengajar. sedangkan menurut DH. Dequelque dan A, Gazali mengatakan bahwa didaktik itu aturan-aturan dan hukum-hukum yang haru ditaati. Supaya dengan mudah dan pasti dapat menanamkan pengetahuan kepada murid-murid yang masih muda. Kata didaktik ini berasal dari kata Yunani kuno didaskoo yang berarti saya mengajar.

Dengan didaktik kita maksud adalah ilmu mengajar yang memberikan prisnsip-prinsip tentang cara-cara menyampaikan bahan pelajaran sehingga dikuasai dan dimiliki oleh anak-anak. Prinsip didaktik yang sering dikemukakan adalah motivasi, aktivitas, peragaan, individualitas, apersepsi, lingkungan, korelasi, dan konsentrasi, atau integrasi,

Prinsip-prinsip atau asas-asas itu tidak berdiri sendiri, melainkan bertalian erat satu sama lain. Misalnya motivasi (minat) timbul bila anak aktif. Atau bila kita gunakan alat-alat peraga, atau kita bawa berkaryawisata keluar sekolah (lingkungan). Karena biasanya asas-asas itu timbul serempak. Menguasai asas-asas didaktik belum merupakan suatu jaminan bahwa seseorang dengan sendirinya akan menjadi guru yang baik. Mengajar itu sangat kompleks dan dipengaruhi oleh macam-macam faktor. Antara lain pribadi guru sendiri, suasana kelas, hubungan antar manusia di sekolah, keadaan soial ekonomi Negara, organisasi, kurikulum dan lain sebagainya.

Akan tetapi seorang pasti tidak akan menjadi guru yang baik kalau ia mengabaikan asas-asas didaktik. Itu sebabnya didaktik perlu dipelajari oleh setiap pengajar.

b. Pembagian didaktik

Didaktik dapat dibagi atas:

1. Didaktik Umum

Didaktik Umum memberikan prinsip-pninsip yang umum yang berhubungan dengan penyajian bahan pelajaran agar anak dapat menguasai sesuatu bahan pelajaran. Prinsip-prinsip ini berlaku bagi semua mata pelajaran. Sebagai contoh misalnya tentang masalah minat, peragaan, motivasi dan sebagainya, yang kesemuanya itu menyangkut semua mata pelajaran.

2. Didaktik Khusus

Didaktik Khusus membicarakan tentang cara mengajarkan mata pelajaran tertentu dimana prinsip didaktik umum digunakan. Seperti kita ketahui setiap mata pelajaran mempunyai ciri khas yang berbeda satu dengan yang lainnya. Didaktik khusus ini disebut juga metodik yang berasal dan kata metodos (bahasa Yunani), yang berarti mengajar, menyelidiki, cara melakukan sesuatu, dan prosedur.

Disamping itu metodik masih dibedakan lagi atas:

1. Metodik Umum

Yaitu pengetahuan yang membahas cara-cara mengajarkan sesuatu jenis mata pelajaran tertentu secara umum. Artinya hanya secara garis besar jalan pelajaran beserta kesulitan-kesulitan pada suatu mata pelajaran tertentu.

2. Metodik Khusus

Metodik Khusus adalah pengetahuan yang membentangkan cara-cara mengajarkan sesuatu jenis pelajaran tertentu secara mendetail artinya diuraikan sampai kepada bagian-bagian yang sekecil-kecilnya. Jadi kalau metodik umum itu bersifat horizontal maka metodik khusus itu bersifat vertikal.

c. Didaktik dan ilmu lain.
Didaktik memperoleh bantuan dari ilmu-ilmu lain dan bertalian erat dengan sejumlah ilmu lainnya. Didaktik adalah sebagian dari pedagogie atau ilmu mendidik. Didaktik digunakan dalam pendidikan formal yang dilakukan di sekolah.

Didaktik sangat dipengaruhi oleh psikologi. Psikologi memberikan petunjuk-petunjuk tentang perkembangan sifat-sifat anak. Mengajar itu akan efektif jika kita mengenal anak. Elain dari itu, psikologi memberi penjelasan tentang proses belajar.

Juga filsafat mempengaruhi didaktik. Filsafat menentukan tujuan pendidikan dan dengan demikian bahan yang harus diajarkan. Filsafat menentukan pandangan kita terhadap anak sebagai manusia dan hubungan antara guru dan anak. Kita mendidik anak dalam masyarakat tertentu. Dengan demikian didaktik juga memerlukan bahan dari sosiologi dan antropologi.

Itu sebab pendidikan guru harus mempunyai dasar yang luas antara lain meliputi bidang-bidang ilmu seperti yang diebutkan diatas. Selain itu ia harus pula menguasai bahan yang akan diajarkannya. Guru sejarah harus menguasai bahan sejarah, guru geografi harus menguasai bahan pelajaran geografi.

d. Azas-Azas Didaktik

Agar dapat mengajar dengan baik dan berhasil serta dapat dipertanggung jawabkan secara didaktik dan metodik, maka seorang guru harus mengetahui dan memahami serta dapat menerapkan prinsip-prinsip tertentu dalam hal mengajar. Adapun prinsip-prinsip mengajar itu ada 10 macam yaitu:

1. Azas perhatian (Azas membangkitkan perhatian murid-murid).

Banyak sekali murid-murid ditengah-tengah kegiatan belajar-mengajar pikirannya tidak tertuju pada pelajaran, kadang mereka berkhayal sendiri, memikirkan permasalahan tertentu dan lain sebagainya, bahkan kalau kita melihat pondok-pesantren, malah ada sebagian santri yang tidur. Nah ini tentu menjadi problem pengajaran yang harus diatasi agar penyerapan ilmu oleh para siswa menjadi lebih maksimal. Sang guru selain harus fokus terhadap mata pelajaran, harus juga memperhatikan suasana kelas, terutama para murid, yaitu dengan memastikan para murid ikut mengalir terhadap objek yang diajarkan. Jangan sampai membiarkan para murid yang berenang di alam lain. Ini dapat dilakukan dengan memberikan strategi-strategi khusus dalam memberikan penjelasan, yaitu dengan bersuara lantang (tidak lembek), menyisipkan humor atau cerita-cerita sekilas, dan lain sebagainya agar mampu merangsang siswa untuk terus berkonsentrasi kepada mata pelajaran yang diajarkan.

2. Azas aktivitas (Azas mengaktifkan jasmani dan rohani murid).

Ini bisa dilakukan dengan menyuruh siswa untuk menggerak-gerakkan badan ketika suasana terasa fakum, mungkin karena suasana dingin, lalu banyak siswa yang ngantuk. Mata pelajaran pada jam terakhir ketika kondisi fisik siswa mulai melemah, dan lain sebagianya, atau pada kondisi normal kita bisa menyuruh dua orang siswa untuk maju kedepan untuk bercakap-cakap dengan bahasa Arab dengan tema pembicaraan yang sesuai dengan mata pelajaran. Atau dengan menyuruh menghafalkan kaedah bahasa satu-persatu. Demikian secara bergantian agar jasmani para siswa menjadi aktif.

3. Azas apersepsi (Azas menghubungkan dengan apa yang telah dikenal anak).

Misalnya kita sedang mengajarkan tentang “ta’rib” (kata serapan dalam bahasa Arab) agar lebih meyakinkan kepahaman murid dan memudahkannya, kita bisa mencontohkan kata kursi yang diambil dari bahasa Arab “Kursiyyun” sehingga dengan itu murid menjadi lebih paham dan lebih mudah memahami tentang kata serapan.

4. Azas peragaan (Azas meragakan pengajaran).

Ketika sang guru misalnya ingin memberitahukan kosa kata baru dalam bahasa arab yang belum diketahui oleh murid, guru bisa memberitahukannya dengan cara memeragakan makna dari kata itu, misalnya kata “takhayyala-yatakhayyalu” (berkhayal) guru bisa berekspresi seperti orang merenung agar siswa mau berpikir dan menebak apa sesungguhnya makna dari kata itu.

5. Azas ulangan (Azas mengadakan ulangan-ulangan yang teratur).

Setelah selesai mengajarkan satu bab misalnya dalam pelajaran Qowaid, guru bisa mengadakan ulangan kecil untuk mengingatkan kembali point-point yang diajarkan pada bab itu. Demikian seterusnya pada masing-masing bab, agar ingatan siswa tidak hilang begitu saja.

6. Azas korelasi (Azas mengadakan hubungan dengan pelajaran lainnya).

Misalnya ketika guru mengajarkan pelajaran mutholaah, ada satu kalimat yang mempunyai uslub tertentu, misalnya majaz. Tentu seorang guru bisa mengkaitkannya dengan mata pelajaran balaghoh, untuk sebatas menyegarkan kembali ingatan siswa, atau agar para murid sadar bahwa semua mata pelajaran bahasa Arab sangat berkaitan untuk dapat menguasi bahasa Arab.

7. Azas konsentrasi (Azas pemusatan pada pokok masalah).

Seorang guru ketika mengajarkan suatu mata pelajaran harus konsentrasi penuh terhadap hal itu, jangan sampai ada point-point yang salah atau terlewatkan, ini sangat penting agar proses belajar-mengajar menjadi baik. Guru yang memberikan penjelasan dengan baik, maksimal, tidak ada yang salah akan memberikan hasil yang baik pula pada pihak siswa, dari pada guru yang asal-asalan, tidak jelas, dan lainnnya. Tentu pihak siswapun akan belum puas, penasaran, dan bahkan kebingungan. Jadi para guru dituntut untuk konentrai penuh dan berusaha semaksimal mungkin.

8. Azas individualisasi (Azas penyesuaian pada sifat dan bakat masing masing anak).

Jika sang guru menemukan siswa yang malas berarti dia harus mencari strategi khusus dengan mencari cara yang sesuai dengan karakter murid tersebut, mungkin sang murid harus banyak diberi humor-humor atau banyak diberi ancaman-ancaman hukuman, untuk meminimalisir kemalasannya,

9. Azas Sosialisasi (Azas menciptakan/ menyesuaikan pada lingkungan).

Guru tidak hanya bertugas untuk menyampaikan teori ilmu-ilmu saja kepada para murid, namun juga harus memberi pesan-pesan yang baik untuk hidup mereka di dalam masyarakat. Misalnya jika sang guru mengajarkan mutholaah yang banyak memuat cerita-cerita hikmah, maka pada sesi terakhir guru harus menyampaikan amanat yang patut dicontoh yang terkandung dalam bacaan itu sebagai didikan kepada mereka dalam lingkup masyarakatnya.

10. Azas Evaluasi (Azas mengadakan penilaian yang tepat dan teliti).

Kewajiban para guru adalah memberikan penilaian terhadap para siswa. Disini para guru dituntut untuk memberikan nilai seobjektif mungkin. Guru yang baik adalah guru yang tidak nepotisme atau mendiskriminasi dalam memberiakn nilai. Entah itu murid yang paling Ia sayangi, anak dari saudara, ataupun kedekatan lainnya tidak boleh dibedakan penilainnya dari murid yang lain, semua harus dinilai dengan objektif, hati-hati, teliti, berdasarkan kemampuan dan hasil yang telah dicapai oleh para murid. (Ahfa R Syach)



DAFTAR PUSTAKA

Nasution. Didaktik dan Asas Asas Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Dequelque, A. Gazali. Didaktik Umum, Bandung: PT Pustaka Rakyat, 1971.

Tarigan, Djagu. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa, Bandung: PT Angkasa, 1986.



Read More..

2009-02-01

KARAKTERISTIK SEORANG KRITIKUS SASTRA




Seperti yang kita ketahui kritik adalah pekerjaan yang sangat penting yaitu pekerjaan yang berupa pengamatan terhadap sesuatu lalu memberikan penilaian terhadapnya, maka seorang kritikus sastra, ia mengamati/ menganalisa terhadap karya sastra dan memberikan penilaian terhadap karya sastra itu,
Dan penilaian itu mempunyai pengaruh terhadap khalayak umum, untuk itulah pekerjaan ini tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki ketrampilan/ sifat-sifat tertentu yang memungkinkan dia mampu melakukan pekerjaan itu dengan cara yang benar. Dan ketrampilan-ketrampilan/ sifat-sifat tertentu itu adalah:

1. Bakat kritik dan rasa
sesungguhnya hal pertama yang harus dimiliki seorang kritikus adalah bakat kritik dan rasa (dzauq)
Bakat kritik adalah kemampuan yang diberikan Allah kepada sebagian manusia, dengan hal itu mereka mampu mengamati/ menganalisa sesuatu hal dengan pengamatan/ analisa yang tepat dan akurat sehingga tersingkaplah kelemahan-kelemahan yang tersembunyi dan mampu merasakan keindahan-keindahan yang tampak maupun yang tidak tampak/ tersembunyi, dan mampu membedakan hal-hal yang hampir sama, serta mampu mengetahui perbedaan-perbedaaan yang tidak mudah di tangkap oleh kasat mata.
Benar! Semua manusia memang sama-sama memiliki kemampuan untuk menganalisa dan membedakan serta membandingkan, tetapi orang-orang yang memiliki bakat kritiklah yang memiliki kemampuan yang lebih daripada orang-orang pada umumnya, jika sekirannya ada kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka dan memanfaatkan hal itu, niscaya mereka akan menjadi kritikus sastra yang handal.
Dan mengenai dzauq, hal itu adalah kemampuan khusus yang membuat seseorang menjadi pintar, dia akan mampu dengan baik dalam berupaya dan memilih dan sangat memperhatikan akan kecocokan warna, suara, dan bentuknya dan juga dia tahu akan ketidak cocokan diantaranya

Dalam wilayah kritik sastra kemampuan dzauq (rasa) melengkapi bakat dan kedua hal itu sangat berkaitan sekali, barang siapa yang dikaruniai bakat berupa kemampuan untuk merasakan kelemahan-kelemahan yang tersembunyi dan keindahannya secara tepat maka dia juga akan butuh terhadap kepiawaian dalam memilih dan merangkai kata. Seorang kritikus ketika sedang melakukan analisa/ kritik terhadap karya sastra maka bakat dan dzauq (rasa) yang dimilikinya akan bersama sama berperan dalam menyingkap perbedaan-perbedaaan kecil diantara ma’na yang satu dengan yang lainnya, antara satu bentuk dengan bentuk yang lainnya, dan juga dalam mengetahui perbedaan antara lafadz-lafadz yang didengar oleh telinga serta mengetahui teratur ataupun ketidak cocokan susunan kata-katanya dalam sebuah kalimat.
Maka dzauq adalah kemampuan/ sifat yang amat penting dan harus dimiliki oleh seorang kritikus, karena hal itu sangat berkaitan dan melengkapi kemampuan bakat yang selanjutnya bersama-sama menyelami karya-karya sastra, dan membantu para penikmat/ pembaca menyelami karya sastra itu dengan penyelaman/ penghayatan yang benar.

2. Memiliki wawasan dan pengalaman
berwawasan dan berpengalaman adalah merupakan salah satu sifat wajib bagi seorang kritikus, seorang kritikus harus memiliki wawasan yang luas, beraneka, dan tentu dari segala bidang; bidang-bidang yang terpenting adalah

- Wawasan tentang kritik
dengan itulah seorang kritikus mengetahui dasar-dasar kritik dan metodenya, mengetahui bagaimana menganalisa sebuah naskah sastra dan mengambil kesimpulan tentang sifat dan karakteristiknya lalu memberi penilaian terhadapnya, selain juga kritikus juga diharapkan agar mengenal peninggalan/ bekas-bekas kritik arab, gerakan-gerakan kritik pada masa-masanya dan pandangan-pandangan tentang kritik yang urgen di dunia

- Wawasan tentang sastra
sastra adalah wilayah dan tema dari kritik itu sendiri, maka wajiblah seorang kritikus mengetahui seni-seni sastra dan kaidah-kaidahnya, contohnya jika seorang kritikus ingin menganalisa/ mengkritik Qasidah, maka ia harus mengetahui dasar-dasar syair, kaidah arudh, dan dia juga harus banyak tahu tentang peninggalan-peninggalan/ bekas syair arab, contoh juga ketika seorang kritikus ingin menganalisa/ mengkritik Qissah maka dia harus menguasai kaidah-kaidah Qissah dan dasar-dasar seninya, dan pandangan-pandangan moderennya. Dan seperti inilah pada seni-seni sastra yang lainnya

- Wawasan kebalaghohan
Dialah yang banyak membantu dalam mengetahui kefashihan lafadz-lafadz, ibarat-ibarat, dan susunan-susunan penjelas yang sangat dibutuhkan pada sastra arab, juga dalam mengetahui kandungan muhassinat badi’iyyah yang terdapat dalam naskah, maka balaghoh adalah salah satu bagian dari kritik arab

- Wawasan berbahasa
Khususnya nahwu dan shorof, dengan keduanya seorang kritikus mampu mengetahui kebenaran ibarat, dan istiqomahnya kalimat, dan memastikan segala perbedaan yang ada di antara keduanya, karena keluar dari kaedah tersebut (Nahwu dan Shorof) bisa mengakibatkan rusaknya makna dan menghilangkan keindahan karya sastra

- Wawasan Islam
Tabiat dari pekerjaan seorang kritikus adalah memberikan penilaian terhadap ide-ide, makna-makna karya sastra melalui susunan-susunannya, maka agar penilaian sang kritikus muslim terhadap karya sastra tersebut benar, dan juga agar pendapat-pendapatnya selamat dari pengaruh-pengaruh yang fasid maka dia harus menambah wawasan keislamannya

Lalu mengenai pengalaman praktek, seorang kritikus harus memiliki hal itu agar dia mampu menjadi seorang kritikus yang handal, pengalaman itulah yang akan membedakan antara kritikus yang amatiran dengan kritikus yang professional, dan hal itulah yang menentukan betul atau salahnya penilaian dia terhadap karya sastra di mata para sastrawan dan masyarakat umum, biasanya para kritikus mendapat pengalaman yang luas dengan membaca tentang hal ihwal kritik, dan banyak berlatih (praktek)

3. Adil dan tidak membeda-bedakan
Adil dan tidak membeda bedakan adalah sifat yang wajib dimiliki oleh orang muslim pada umumnya, dan khususnya orang yang ingin memberikan penilaian, dan kritikus adalah salah satu dari mereka. Maka dari itu seorang kritikus ketika ingin mengkritik harus jauh sifat tidak menerima karena tidak sesuai dengan dirinya, terlalu membagus-baguskan, tapi dia harus menilai unsur-unsur karya sastra itu sesuai dengan sifat asli yang dimilikinya, lalu juga menerangkan kesimpulannya (hasil kritik) dan menjelaskan sebab-sebab yang melatarbelakangi penilaian itu-baik ataupun buruknya, selain itu juga agar dijaga dari penilaian yang terlalu memuji,dan sebaliknya penilaian yang terlalu menghina. (Ahfa R Syach)

Read More..
SELAMAT DATANG.....!!! Happy Fun and Enjoy....

Mau menjelajah...?

Welcome...



Thanks For Joining

Selamat datang di sahara's community, sebuah blog pribadi, namun saya namakan sahara's community karena blog ini adalah rumah ilmu bagi siapapun yang mengunjungi blog ini, Blog ini adalah blog sastra, namun juga terdapat artikel umum hasil corat-coret tangan. semua makalah sastra yang tertulis adalah tugas-tugas kuliah selama menjadi mahasiswa di UIN Jakarta, semoga bermanfaat untuk referensi dan perbandingan. Bagiku .... dunia maya lebih indah dari pada dunia yang sesungguhnya..... salam


 

Design by Amanda @ Blogger Buster